|
Saat siang terik, Nasipah (50) berjalan menuju kali kecil di seberang rumahnya di Desa Sedayu Kebon, Kecamatan Tirtayasa, Kabupaten Serang, Banten. Ia cuma mengenakan kain kemben yang dililit di badan, sambil menggendong wadah berisi bajunya, pakaian cucunya, dan sabun cuci. Dengan caping di kepala, Nasipah mencoba melawan panas mentari yang menyengat, pekan lalu. Tanpa canggung, ia turun ke sungai yang airnya berwarna kehijauan itu. Tak peduli dengan gumpalan sampah yang teronggok tak jauh darinya, tangannya sesekali menyibakkan air, mencoba menghalau kotoran yang datang. ”Saya pun mandi di sini karena tak punya sumur. Ada rasa gatal, seperti ada yang gerak-gerak di kulit. Ya, daripada tidak mandi,” tutur Nasipah. Sejak tinggal di sana, ia mandi di sungai. Ia mandi tiga kali sehari, pagi, siang, dan sore. ”Kadang sore tak mandi sebab malu, banyak orang,” ujarnya. Ia memilih mandi saat matahari sedang terik bersinar sebab pada saat itu sebagian warga akan memilih berlindung di dalam rumah. Nasipah bisa leluasa mandi dan tak peduli dengan arus lalu lintas di Jalan Raya Sedayu karena tak akan ada orang yang sengaja melongok ke sungai. Di sepanjang sungai itu ditemui banyak orang mandi atau mencuci. Menurut Nasipah, mandi di kali bukan hal yang menarik perhatian pemakai jalan. Jalan itu persis di tepi aliran sungai. ”Untuk makan dan minum biasanya saya membeli air. Harganya Rp 3.000 per jeriken. Sehari butuh lima jeriken karena keluarga saya banyak,” ujarnya. Nasipah adalah ibu tiga anak. Suaminya, Jaidi (55), adalah penarik becak. Meski memiliki sawah seluas 1 hektar, yang dibelinya dari tabungan saat merantau selama tiga tahun di Lampung, kehidupan keluarga itu pas-pasan. Sertifikat sawah kini dijadikan jaminan di bank. Keluarganya berutang Rp 2 juta pada musim tanam lalu. Sayangnya, akibat kemarau, mereka gagal panen. Jika biasanya mereka bisa panen hingga 3 ton padi, kini 2 kuintal saja tidak dapat. Akibatnya, Nasipah belum bisa membayar utang ke bank untuk menebus sertifikat sawahnya. Ia memperpanjang utangnya selama enam bulan. Dari utang Rp 2 juta itu, bunga terus terkumpul, hingga mencapai Rp 1,2 juta. Kini Nasipah menanggung utang Rp 3,2 juta. Nasipah bergantung pada hasil keringat suaminya. Sehari, rata-rata Jaidi mendapat uang Rp 25.000. Suaminya harus kerja serabutan lain, seperti menjadi kuli panggul, agar bisa membeli air dan makanan. Keluarga Nasipah merupakan potret keterbatasan warga akan akses air bersih. Padahal, rumah Nasipah hanya sekitar 30 kilometer dari pusat Kota Serang, ibu kota Banten. ”Ingin suatu saat bisa mendapat air dengan mudah. Malu terus-terusan mandi di kali,” ujarnya. Nasipah tak sendirian. Kalau menyusuri pantai utara Kabupaten Serang, mulai Jalan Ciruas Pontang hingga Kecamatan Pontang, mudah didapati orang mandi dan mencuci di kali yang tidak selalu bersih. Di tempat berbeda, siang itu, dengan hati-hati, Adi (8), Agil (12), dan Faisal (17) meniti jembatan gantung bambu yang menghubungkan Desa Muara Dua, Kecamatan Cikulur, dengan Desa Jayasari, Kecamatan Cimarga, di Kabupaten Lebak, Banten, beberapa waktu lalu. Kehati-hatian dan kewaspadaan dibutuhkan untuk meniti jembatan yang papan kayu titiannya mulai rusak di beberapa bagian itu. Jika tak waspada, bisa-bisa mereka terjatuh ke Kali Ciujung, sekitar 50 meter di bawahnya. Mereka setiap hari menantang maut demi bersekolah. ”Kalau tidak lewat sini, nanti memutar jauh,” ujar Agil, pelajar asal Desa Muara Dua. Jika tidak melalui jembatan itu, ia harus memutar agak jauh sekitar 5 kilometer melalui jalur Cileles-Cisalak. Sebenarnya 500 meter dari jembatan itu ada satu jembatan gantung lagi. Kondisinya lebih baik karena dibangun belakangan meski papan titiannya mulai berlubang di sana-sini. Jembatan itu lebih stabil. ”Kalau lewat jembatan sebelah, kami bersaing dengan sepeda motor. Kebanyakan pejalan kaki lewat sini,” kata Faisal. Jembatan yang dibangun tahun 1996 itu panjangnya sekitar 75 meter dengan lebar sekitar 1,5 meter. Kawat dan batang besi menjadi penyangga beban jembatan di kedua ujung. Hairullah (62), mantan Kepala Desa Jayasari, menceritakan, sebenarnya dua kali jembatan usang ini direhabilitasi. Namun, kerusakan tidak bisa dihindarkan karena beban jembatan akan terus bertambah dari waktu ke waktu. Selain untuk lalu lintas orang, jembatan ini juga sebagai akses untuk mengangkut hasil kebun milik warga. ”Saya sedang membangun madrasah di desa. Saya butuh batu bata untuk membangun gedung itu. Karena tidak bisa dilintasi kendaraan roda empat, batu bata itu pun dipikul oleh kuli angkut melalui jembatan itu. Ongkosnya makin mahal,” ujar Hairullah. Jika pembelian batu bata seharusnya hanya Rp 200.000, tetapi berikut ongkos angkutnya menjadi Rp 400.000. Otong Tohari (30), warga Desa Marga Dua, siang itu terlihat memikul buah kelapa melintasi jembatan. ”Kelapa jika tidak diangkut seperti ini tidak bisa dijual ke kota,” ujarnya. Harga kelapa di desanya hanya Rp 600 per buah. Di kota, harganya bisa mencapai Rp 3.000 per buah. Warga Desa Jayasari dan Desa Marga Dua berharap jembatan bambu di desanya segera diganti dengan jembatan permanen yang bisa dilalui kendaraan roda empat. Jika jembatan sudah baik, hasil pertanian dan hasil kebun warga bisa dijual langsung ke pasar dengan harga yang lebih tinggi. ”Nitip bilangin ke pejabat, jangan menumpuk-numpuk harta. Ke siniin uangnya untuk bangun jembatan agar warga makin sejahtera,” ujar Hairullah. Meski lokasi jembatan itu di kabupaten, tetap merupakan bagian dari Provinsi Banten. Tak bisa hanya menyerahkan tanggung jawab kepada pemerintah setempat. Infrastruktur yang belum memadai bagi warga Banten terlihat di sejumlah wilayah. Paling jelas terlihat adalah masih rusaknya sejumlah ruas jalan di provinsi itu. Bahkan, Jalan Raya Pontang di Kecamatan Pontang, Kabupaten Serang, yang sedang diperbaiki, kondisinya tidak jauh lebih baik daripada sebelumnya. Jalan beton yang diperbaiki masih di satu ruas jalan. Tinggi jalan beton itu sekitar 30 sentimeter dibandingkan jalan aspal sebelumnya. Jalur meninggi itu putus dan menyambung di beberapa tempat. Untuk naik jalan meninggi ini, pengendara harus ekstra hati-hati. Jika tidak, sepeda motor akan terguling. ”Kapan juga jalan ini selesai? Sangat merepotkan. Jika gelap, amat membahayakan. Kalau tak siaga, pengendara sepeda motor akan jatuh,” kata Pabriji (48), tukang ojek asal Banten Lama. Dahlia Irawati dan C Anto Saptowalyono Post Date : 14 November 2013 |