|
MANADO, KOMPAS — Banjir bandang disertai longsor yang menerjang Kota Manado dan sekitarnya di Sulawesi Utara, Rabu (15/1) pukul 05.00, nyaris menenggelamkan kota dan penghuninya. Sedikitnya 40.000 warga Kota Manado, Tomohon, Bitung, dan Kabupaten Minahasa terpaksa mengungsi ke gereja, masjid, sekolah, dan kantor kelurahan. Laporan Kompas dari lapangan, sekitar 70 persen wilayah Kota Manado dan sekitarnya tergenang air. Ketinggian air mencapai lebih dari 2 meter. Bahkan, ada yang mencapai ketinggian 4 meter hingga menutup atap rumah. Kantor Wali Kota Manado di Tikala dan Gedung DPRD serta perkantoran terendam air. Menurut Gubernur Sulut Sinyo Harry Sarundajang, banjir terjadi di 17 lokasi, yang meliputi 8 kecamatan dari 12 kecamatan, antara lain Tuminting, Sario, Wanea, Teling, dan Wenang. Akibat banjir, aktivitas sekolah diliburkan. Ratusan warga hingga kini belum bisa dievakuasi. Hingga Rabu malam, 13 orang dinyatakan tewas. Sebanyak 5 orang tewas akibat tanah longsor di Tomohon, 5 orang terbawa arus deras di Kota Manado, dan 3 orang tewas di Minahasa—antara lain seorang hanyut di pantai dan seorang lainnya, Mohammad (52), kepala lingkungan di Kelurahan Banjer, tewas tersengat listrik. Puluhan rumah dilaporkan ambruk serta sejumlah kendaraan roda empat hanyut diterjang air bah dan terjebak banjir. Dari Tinoor, Tomohon, tiga rumah dilaporkan tertimbun longsor. Ruas jalan Manado-Tomohon juga terputus akibat tanah longsor. Di kawasan Tanggari, Minahasa, sebuah jalan terbelah dua karena longsor. Sejumlah pengendara mobil yang terjebak di ruas jalan tersebut terpaksa menginap di rumah penduduk. Jopi Komaling, pengendara mobil, menyatakan, ia tak mungkin meneruskan jalan ke Manado, apalagi harus kembali ke Tomohon. Itu karena jalan di Tinoor tertimbun tanah. Banjir bandang membuat sebagian pengungsi mengalami kelaparan dan kehausan. Mereka juga tak memiliki baju ganti. Padahal, pakaian yang mereka pakai sudah basah akibat hujan yang masih turun. ”Syukur, kami mendapat makanan dari gereja. Kami tak tahu harus ke mana,” kata Novi Tumuyu, warga kampung Paso Sario Kotabaru. Hingga Rabu sore, tidak terlihat tenda darurat untuk pengungsi. Kerusakan ekologi Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah Provinsi Sulut Noldy Liow mengatakan, banjir bandang terjadi karena lima sungai, antara lain Tondano, Malalayang, Bahu, dan Singkil, meluap bersamaan akibat hujan deras yang turun sejak Selasa (14/1) siang hingga Rabu siang. ”Tanda-tanda banjir bandang sudah terlihat sejak Selasa malam sehingga sebagian warga sudah bersiap-siap. Ini membuat jumlah korban sedikit,” katanya. Namun, mantan Wakil Presiden M Jusuf Kalla, yang juga Ketua Umum PMI, mengatakan, banjir bandang di Kota Manado terjadi akibat kerusakan ekologi. ”Terutama karena perubahan fungsi lahan di perbukitan Kota Manado yang kini menjadi perumahan. Belum lagi reklamasi di sepanjang pantai Manado dan penyempitan sungai yang dirambah untuk permukiman sehingga air tak dapat keluar. Banjir itu sebenarnya persoalan air hujan yang tak bisa menuju laut,” tuturnya. PMI, sejauh ini, membantu mendirikan posko kesehatan dan dapur umum serta mengirimkan relawan. Kepala Pusat Perubahan Iklim dan Kualitas Udara pada Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika Edvin Aldrian mengatakan, sistem tekanan rendah di wilayah perairan selatan Filipina menyebabkan pembentukan awan intensif. Akibatnya, anomali cuaca di Samudra Pasifik barat menimbulkan hujan lebat, yang di antaranya menyebabkan banjir bandang di Manado. ”Pada masa seperti ini, sistem tekanan rendah berada di belahan Bumi selatan karena posisi Matahari ada di selatan ekuator. Sistem tekanan rendah yang berlangsung di perairan utara Sulawesi atau di utara ekuator ini menjadi anomali,” katanya. Edvin menambahkan, sistem tekanan rendah diperkirakan terpicu fenomena kolam panas (warm pool) yang terjadi di Samudra Pasifik bagian barat. Hal senada disampaikan Kepala Pusat Data Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana Sutopo Purwo Nugroho. Musibah banjir kemarin tercatat lebih dahsyat daripada banjir bandang dan tanah longsor yang terjadi tahun 2000 dan Februari 2013 di Kota Manado. Bencana banjir tahun 2000 menewaskan 22 orang dan pada Februari 2013 merengut nyawa 17 orang. Desa terancam tenggelam Banjir juga melanda sejumlah daerah lain di Indonesia. Akibat banjir, Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Tulang Bawang, Lampung, memperpanjang tanggap darurat hingga 21 Januari. Itu dilakukan karena banjir yang menggenangi tujuh kecamatan di DAS Sungai Tulang Bawang belum surut. Bahkan, lima desa di Kecamatan Rawa Pitu terancam tenggelam. Sementara itu, akibat hujan sepekan terakhir, sekitar 2.000 rumah di lima kabupaten di Sumatera Selatan terendam. Banjir di Kabupaten Musi Rawas Utara membuat jalan darat ke beberapa desa di Kecamatan Karang Dapo dan Rawas Ilir terputus. Banjir juga terjadi di Jambi akibat Sungai Batanghari meluap sehingga memutuskan jalur transportasi. Banjir juga mengepung Karawang dan Cirebon, Jawa Barat. Selain itu, banjir juga mengancam warga di tiga desa, yakni Desa Kraton, Desa Paseban, dan Desa Cakru di Kecamatan Kencong, Jember, Jawa Timur.(ZAL/GER/SIR/REK/WIE/IRE/ITA/DMU/NAW) Post Date : 16 Januari 2014 |