|
JAKARTA, KOMPAS — Perhatian pemerintah terhadap sarana sanitasi seperti instalasi pengolahan air limbah domestik ataupun industri rendah. Dari 500 kabupaten/kota, hanya 11 yang memilikinya. Secara nasional, limbah tak terkontrol. Sebelas kota yang dilayani instalasi pengolahan air limbah (IPAL), termasuk IPAL industri, adalah Jakarta, Medan, Solo, Bandung, Banjarmasin, Cirebon, Balikpapan, Yogyakarta, Tangerang, Denpasar, dan Manado. ”Jakarta ibu kota negara, pengelolaan limbah terpusatnya jorok,” kata Menteri Pekerjaan Umum Djoko Kirmanto, Kamis (24/10), seusai membuka Hari Habitat Dunia 2013 di Jakarta. Pengelolaan limbah terpusat, baik limbah domestik maupun industri, di Jakarta dibagi dalam 15 zona. Namun, saat ini baru terdapat satu zona, yaitu di IPAL Setiabudi. Secara persentase, IPAL di Jakarta itu baru mencakup 3,5 persen. ”Kalau bekerja seperti ini, dengan anggaran terbatas dan susahnya membebaskan lahan, baru selesai tahun 2050. Harus ada percepatan,” kata Djoko. Secara terpisah, Setyo Sarwanto Moersidik, pengajar di Program Studi Teknik Lingkungan Departemen Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Indonesia, mengatakan, sebagian besar kota di Indonesia bertumpu pada septic tank, cubluk, bahkan banyak yang buang air besar di kebun. ”Pembangunan infrastruktur IPAL merupakan kebutuhan mendesak. Jadi bagian penting program kesehatan dan pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium (MDG),” kata Setyo. Posisi Indonesia Data Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, penyediaan sistem pengolahan air limbah terpusat di Indonesia secara nasional baru 1 persen. Negara ASEAN lain lebih maju, seperti Malaysia (38 persen), Thailand (34 persen), Vietnam (14 persen), dan Filipina (7 persen). Layanan sanitasi dasar ini baru 57,35 persen dari target MDG 62,41 persen pada 2015. Kondisi itu menempatkan Indonesia sebagai negara dengan layanan sanitasi rendah di ASEAN. Bahkan, Vietnam dan Myanmar hampir mencapai 80 persen. Beberapa waktu lalu, pada konferensi pers rencana Konferensi Sanitasi dan Air Minum Nasional 2013, Deputi Bidang Sarana dan Prasarana Bappenas Dedy S Priatna menyatakan, investasi untuk mencapai target MDG seharusnya Rp 52.000 per kapita per tahun, tetapi saat ini hanya Rp 16.500. Karena itu, pihaknya membangun Percepatan Pembangunan Sanitasi Permukiman melalui penyusunan Strategi Sanitasi Kabupaten/Kota. Dari hanya 41 kabupaten/kota yang ikut serta tahun 2010, pada akhir 2014 jumlah ini diprediksi meningkat menjadi 422 kabupaten/kota. Program lain, seperti Sanitasi Total Berbasis Masyarakat, pun digiatkan. Kini 15.603 desa dari target 20.000 desa. Program ini menurunkan kasus diare dari 411 per 1.000 jiwa (2010) menjadi 214 per 1.000 jiwa (2012). (ICH) Post Date : 25 Oktober 2013 |