|
Jakarta, Kompas - Sekitar 68 persen sumur dangkal di Jakarta sudah tercemar bakteri E-coli. Penyebaran bakteri itu sudah mencapai hampir seluruh wilayah Jakarta, termasuk Jakarta Selatan yang tidak sepadat wilayah lainnya. Kedekatan jarak antara sumur air bersih dan septic tank di permukiman padat penduduk menjadi penyebab penyebaran. Ahli hidrologi dan pengolahan air Universitas Indonesia, Firdaus Ali, mengungkapkan hal itu di Jakarta, Sabtu (3/3). "Di perumahan padat, banyak septic tank yang lokasinya tidak sampai 10 meter dari sumur, baik sumur di dalam rumah maupun sumur tetangga," ujarnya. Padahal, menurut Firdaus, hampir semua septic tank di Jakarta masih mengandalkan sistem peresapan air ke dalam tanah sehingga dapat mencemari sumur dengan mudah. Penyebaran bakteri E-coli di Jakarta memprihatinkan karena mayoritas warga masih mengandalkan sumur sebagai sumber air utama "PDAM (Perusahaan Daerah Air Minum) Jakarta hanya mampu melayani kebutuhan air bersih untuk 44 persen-57 persen warga Jakarta. Sisanya masih menggunakan sumur untuk mendapatkan air bersih. Selain itu, para pelanggan PDAM masih menggunakan sumur karena pasokan PDAM tidak teratur dan sering mati," kata Firdaus. Terlalu mahal Purwanto, warga Jelambar, Jakarta Barat, mengatakan, dia dan banyak tetangganya masih mengandalkan sumur karena pasokan air PDAM tidak sampai 24 jam. Tarif PDAM juga terlalu mahal sehingga harus diselingi dengan air sumur agar tidak menanggung beban biaya yang besar. Hal yang sama diungkapkan Didin, warga Cempaka Putih. Didin masih mengandalkan sumur sebagai sumber air karena harga air PDAM yang mahal. "Namun, saya mulai khawatir dengan adanya bau dari air sumur," katanya. Firdaus mengatakan, sudah saatnya pemerintah membangun instalasi pengolahan air limbah (IPAL) domestik di setiap kawasan permukiman. IPAL domestik tersebut penting agar limbah rumah tangga tidak lagi mencemari lingkungan dan sumur warga. Selama ini hanya 2 persen limbah domestik yang dikelola Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta di Waduk Setiabudi. Untuk kota sepadat Jakarta, IPAL merupakan prasyarat utama untuk memperbaiki sanitasi lingkungan dan mengurangi penyebaran penyakit diare. Firdaus menambahkan, Pemprov DKI perlu mendorong kedua operator PDAM, yakni PT Thames PAM Jaya dan PT PAM Lyonaisse Jaya, untuk terus memperbesar wilayah pelayanan. Penambahan itu diperlukan untuk mengurangi ketergantungan warga terhadap pasokan air dari sumur dangkal. Sumur dalam Firdaus juga menyoroti penggunaan sumur air dalam oleh hotel dan apartemen. Penggunaan sumur air dalam menyebabkan berkurangnya lapisan air bawah tanah sehingga memungkinkan terjadinya penurunan muka tanah dan masuknya air laut ke daratan. Berdasarkan pengukuran oleh Universitas Indonesia, permukaan tanah di kawasan Monas, Jakarta Pusat, sudah mengalami penurunan 66 sentimeter jika dibandingkan dengan kondisi 1984. Untuk menghentikan penurunan semacam itu, pemerintah perlu bersikap tegas dalam mengatur penggunaan sumur dalam. Namun, pengaturan tersebut harus diikuti dengan peningkatan kinerja PDAM, agar dapat menggantikan pasokan air dari sumur dalam. Menurut Firdaus, PDAM harus mampu menjangkau 90 persen penduduk Jakarta dan memberi pasokan air selama 24 jam untuk dapat menghentikan pemakaian sumur dalam. (eca) Post Date : 04 Maret 2007 |