|
JAKARTA - Kenaikan tarif air minum hanya akan membebani rakyat miskin. Pasalnya, sekitar 68 persen penghasilan Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Jaya justru berasal dari golongan II yang dikategorikan warga miskin. "Pernyataan bahwa penghasilan PDAM Jaya terbanyak dari golongan menengah ke atas, sama sekali tidak benar. Soalnya 68 persen penghasilan PDAM Jaya berasal dari golongan II atau warga miskin," kata Staf Ahli Komunitas Pelanggan Air Minum Jakarta (Komparta) Poltak H Situmorang di Jakarta, Kamis (17/2). Menurut dia, gembar-gembor Gubernur DKI Jakarta, Sutiyoso, bahwa subsidi air kepada warga miskin, juga tidak benar. Dalam praktiknya, siapa yang memakai air paling banyak, justru menyubsidi konsumen yang konsumsi airnya sedikit. Dia mencontohkan, di Pondok Indah yang merupakan kawasan perumahan elite, air PDAM digunakan kalau listrik mati karena air tanah di daerah itu sangat baik. Tapi, di Tanjung Priok yang notabene penduduknya warga menengah ke bawah, semuanya menggunakan air PDAM karena air tanahnya sudah tercemar. "Jadi justru orang miskin di Tanjung Priok yang menyubsidi orang kaya di Pondok Indah. Seharusnya, kalau pemerintah provinsi mau menaikkan tarif air, khususkan untuk golongan menengah ke atas. Jangan pukul rata," ujar Poltak. Dia mengatakan, pernyataan Gubernur Sutiyoso mengenai tarif air di Jakarta yang lebih murah dari tarif air di Semarang, juga tidak benar. Di sisi lain, tarif rata-rata air di Jakarta justru lebih mahal dibandingkan Semarang. Poltak menjelaskan, ada perbedaan untuk tarif air dengan tarif rata-rata air. Tarif air biasanya ditentukan oleh Pemda, misalnya untuk golongan IA seperti tempat ibadah. Sedangkan tarif rata-rata air dihitung dari penghasilan yang didapat dari penjualan dibagi volume air yang terjual. "Masalahnya, yang dibayar pelanggan kan, tarif rata-rata air. Sedangkan yang bayar berdasarkan tarif air atau Rp 500/m3, jumlahnya tidak sampai satu persen dari total pelanggan PDAM," kata Poltak. Tarif air di Semarang dan Jakarta juga tidak bisa dibandingkan karena kerapatan penduduk di Jakarta lebih tinggi. Di Jakarta, setiap enam meter untuk satu pelanggan PDAM, tapi di Semarang 18 meter satu pelanggan. Hal itu membuat penggunaan pipa di Jakarta lebih efisien daripada di Semarang. "Itu berarti investasi di Semarang lebih tinggi daripada Jakarta. Jadi untuk daerah padat seperti Jakarta, seharusnya tarif air lebih murah karena investasinya tidak mahal seperti di Semarang dan kota lain yang kerapatan penduduknya jarang," ujar Poltak. Dia menambahkan, perbandingan tarif air untuk industri di Jakarta juga mahal. Di Singapura, tariff air untuk industri hanya Rp 2.100 per meter kubik sedangkan di Jakarta Rp 9.100/m3. Dia mengungkapkan, sebenarnya tarif air untuk warga Jakarta normalnya sekitar Rp 600/m3. Tapi kenyataannya, warga Jakarta harus membayar tarif air Rp 5.700/ m3 yang mulai berlaku Februari 2005. Dia mengungkapkan, menurut Palyja dan TPJ, biaya produksi air yang mereka keluarkan Rp 1.900/m3. Tapi dari Rp 1.900, sekitar Rp 1.200 diambil untuk biaya royalty kepada dua mitra asing. Jadi, biaya produksi air sebenarnya hanya sekitar Rp 600 sampai Rp 700/m3, tapi dijual ke masyarakat dengan tarif Rp 5.700. "Jadi keuntungan dua mitra asing itu banyak. Selain dapat biaya lisensi, dapat juga water charge. Sementara PDAM tidak kebagian penghasilan. Makanya terus merugi," ujar Poltak. (J-9) Post Date : 19 Februari 2005 |