|
Jakarta, Kompas - Provinsi DKI Jakarta dipastikan akan tetap menghadapi persoalan sampah. Prediksi itu karena Pemprov DKI tidak memasukkan masalah itu dalam 20 program unggulan lima tahun ke depan sehingga sampah lebih banyak dibuang daripada dikelola menjadi barang bernilai ekonomi. Dalam kurun waktu itu, sampah Jakarta lebih banyak dibuang di Bantar Gebang, Bekasi. Saat ini, pengelolaan sampah baru sebanyak 300 ton per hari dari total produksi sampah DKI antara 5.300 dan 6.200 ton per hari. ”Kami mengupayakan membangun TPS (tempat pembuangan sementara) terpadu di setiap kelurahan,” ujar Kepala Dinas Kebersihan DKI Jakarta Unu Nurdin, Kamis (21/2). Saat ini, jumlah TPS di DKI hanya 191 yang tersebar di Jakarta Pusat 15 unit, Jakarta Utara (62), Jakarta Barat (53), Jakarta Selatan (27), dan Jakarta Timur (34). Idealnya, setiap RW dilengkapi satu unit TPS. Dengan jumlah RW di Jakarta yang mencapai 2.706, masih ada kekurangan 2.515 unit TPS se-Jakarta. Sebelumnya, Wakil Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama menginginkan adanya penanganan sampah yang terintegrasi. Dinas kebersihan diharapkan menjadi lembaga yang paling bertanggung jawab mengurus sampah, bukan seperti saat ini, sampah ditangani 19 lembaga berbeda. Akibatnya, penanganan sampah tidak terintegrasi. ”Jangan tanya saya mengapa demikian, silakan menanyakan ke pemimpin saya (gubernur dan wakil gubernur. Saya siap menjalankan program beliau, ide integrasi ide yang masuk akal dan bagus,” kata Unu. Selama integrasi belum berjalan, dinas kebersihan tidak dapat mengambil tugas lembaga lain karena terbentur kewenangan dan anggaran. Pasalnya, anggaran Dinas Kebersihan DKI Jakarta tahun 2013 hanya Rp 800 miliar, lebih kecil Rp 50 miliar dibanding anggaran pada tahun lalu. Tergantung TPA Penanganan sampah DKI dinilai masih menggunakan paradigma lama, dengan cara membuang ke tempat lain. Akibatnya, Jakarta sangat terganggu dengan tempat pembuangan akhir (TPA). Padahal, ketergantungan ini bisa dikurangi dengan mengolah sampah dari sumbernya secara berkelanjutan. Ketua Umum Indonesia Solid Waste Association (InSWA) Sri Bebassari mengatakan, tingginya ketergantungan DKI terhadap TPA karena belum ada pengolahan sampah di lingkungan. ”Bila ingin memutus ketergantungan itu harus dilakukan penguatan sumber daya manusia di kelurahan agar masyarakat tergerak untuk mengolah sampah,” kata Sri dalam peringatan Hari Sampah di Tempat Pengolahan Sampah Terpadu Rawasari. Apabila program ini berhasil bisa menyerap sekitar 70 persen sampah dari warga. Hal itu sangat mungkin dilakukan karena sampah yang ada sebagian diserap oleh warga menjadi barang bernilai ekonomi. Dengan demikian dana yang dipakai untuk pengangkutan dan penggunaan TPA Rp 100.000-Rp 300.000 per ton bisa dialihkan untuk penguatan pengolahan sampah di lingkungan warga. Model pengurangan sampah seperti ini merupakan investasi kota yang bisa menarik investor dan wisatawan datang ke Jakarta. Ubah persepsi Model penanganan sampah dengan cara membuang sudah saatnya diubah. Menangani sampah harus dimulai dari cara pandang bahwa sampah bukanlah barang buangan, melainkan barang yang bisa menjadi komoditas ekonomi. Dengan demikian sampah dapat dikelola lebih baik dan menghasilkan keuntungan. ”Persepsi yang menempatkan sampah sebagai barang buangan membuat persoalan tak kunjung usai,” kata Koordinator Masyarakat Peduli Sampah Sejahtera (Mappes) Kapuk Muara, Kecamatan Penjaringan, Jakut, Tafsir Munir. Aktivis Mappes mengajarkan cara memilah dan mengolah sampah agar lebih bernilai ekonomi. Hasil pilahan ditampung di bank sampah yang kini memiliki 140 nasabah. Program ini bisa jalan jika sampah sudah dianggap sebagai komoditas bernilai ekonomi sehingga tak dibuang lagi. Setali tiga uang dengan Jakarta, pengolahan sampah di Kota Bekasi juga sangat minim. Dari total produksi sampah 1.475 ton atau 5.899 meter kubik per hari, sampah yang terolah hanya 135 meter kubik per hari (2 persen). Bahkan pemerintah setempat memperluas TPA di Sumur Batu, Bantar Gebang. Sementara itu jumlah tempat penampungan sampah sementara hanya 230 unit. Jumlah ini jauh dari kondisi yang dibutuhkan sebanyak 972 unit, menyesuaikan jumlah rukun warga. Ketua Koalisi Lembaga Swadaya Masyarakat untuk Persampahan Nasional Bagong Suyanto menilai, perluasan tidak menyelesaikan masalah. ”Akar masalahnya adalah keengganan mengelola sampah dari tingkat keluarga,” kata Bagong, pendamping pemulung di Bantar Ge- bang. (ART/FRO/MKN/NDY/BRO) Post Date : 22 Februari 2013 |