|
Warga Kota Bandung meminta Wali Kota Bandung, Ridwan Kamil, mengkaji ulang proyek pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) berbasis insinerator yang rencananya akan dibangun di Gedebage, Kota Bandung.
Aspirasi ini disampaikan beberapa lembaga seperti Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Yayasan Pengembangan Biosains dan Bio Teknologi (YPBB), Komunitas Griya Cempaka Arum, Indonesia Toxics-Free Network, Aktivis Pengelolaan Sampah Berbasis Masyarakat, Generation Indonesia, Lembaga Bantuan Hukum-Bandung dan peneliti lingkungan hidup.
Pertimbangan penolakan tersebut lantaran pembangkit listrik dengan tenaga sampah yang dibakar menggunakan insinerator itu dinilai lebih banyak menimbulkan kerugian ketimbang keuntungan.
Direktur YPBB, David Sutasurya menjelaskan, masih banyak cara lain menghasilkan listrik selain menggunakan insinerator. "Ini cuma trik penjualan global inecerator yang sudah tidak laku lagi di negara maju dan ini bukan teknologi berwawasan lingkungan," ujar David dalam Pemaparan Rekomendasi kepada Wali Kota Bandung terkait rencana proyek PLTSa & Kontroversi Teknologi Incinerator di Gedung Indonesia Menggugat, Jalan Viaduct, Kota Bandung, Minggu (31/8/2014).
Lebih lanjut David menambahkan, Wali Kota Bandung perlu menerapkan asas kecermatan dan kehati-hatian dini terhadap proyek PLTSa yang berisiko tinggi dan masih mengandung banyak kontroversi.
"Nantinya malah akan menimbulkan multi krisis di Kota Bandung. Kebijakan proyek PLTSa ini masih bermasalah dalam konteks hukum, finansial, sosial, teknis dan lingkungan," ujar dia.
Di tempat yang sama, Koordintaor Indonesia Toxic Free Network, Yuyun Ismawati, menambahkan, biaya pembangkit listrik menggunakan ineserator lebih mahal ketimbang dengan teknologi lain seperti menggunakan tenaga surya, air bahkan geothermal.
Aktivis lingkungan hidup peraih penghargaan Goldman Enviromental Prize International ini menjelaskan, investasi untuk operasional insinerator mencapai 12 ribu USD per kilowatt. Sementera, untuk pembangkit listrik Geothermal (panas bumi) hanya 5000 USD per kilowatt, pembangkit listrik tenaga nuklir 5700 dollar per kilowatt.
"Untuk tenaga Solar (matahari) dan hidro sangat murah sekitar 2000 dollar per kilowatt. Operasional Insinerator itu tinggi sekali hampir 9 dollar per megawatt sementara geothermal hanya 1 dollar per megawatt," kata dia.
Tidak sampai di situ saja, pengawasan operasional PLTSa berbasis iniserator sangat berkaitan dengan kesehatan. Menurut Yuyun, pembakaran sampah untuk menghasilkan tenaga listrik dari PLTSa harus diatas 1000 derajat celsius. Di bawah angka tersebut, zat beracun hasil pembakaran berupa dioksin yang lepas ke udara kadarnya akan semakin tinggi dan semakin mengancam kesehatan masyarakat. Hal ini dapat memicu terjadinya berbagai macam jenis kanker.
Selain itu, setelah diteliti, bukan sampah yang akan menghasilkan listrik. Dia menjelaskan, untuk membakar sampah hingga mencapai suhu 1000 derajat celsius perlu bahan bakar seperti solar atau batu bara. "Secanggih apapun teknologi ineserator pasti menghasilkan dioksin. 0,1 nanogram per meter kubik dioksin. itu standar internasional dioksin yang boleh dihasilkan. Perlu teknologi tinggi," ucap dia.
Yuyun pun meminta Wali Kota Bandung untuk belajar dari negara-negara maju yang telah menerapkan insinerator. Seperti di Inggris, lanjut dia, banyak iniserator canggih yang meledak karena kurang terpantau dengan baik. Dengan banyaknya efek negatif yang diungkapkan, Yuyun menilai Pemkot Bandung perlu memastikan ada Arahan Nasional terkait pengelolaan persampahan menggunakan iniserator. Hal ini penting sebelum Pemkot Bandung menandatangani surat kontrak kerjasama dengan PT. Brill sebagai pemenang tender proyek pembangunan dan pengelolaan PLTSa.
"Bahkan bertentangan dengan UU Nomor 18 Tahun 2008 tentang pengelolaan sampah. Bahkan dalam pasal 29 tidak boleh membakar sampah karena sampah di Indonesia itu kebanyakan sampah basah dan tidak cocok dibakar," ujar dia.
Adapun empat poin rekomendasi yang diajukan oleh gabungan masyarakat sipil ini adalah;
1. Melakukan kajian ulang secara menyeluruh dan mendalam terhadap seluruh aspek rencana pembangunan PLTSa oleh tim ahli yang independen dan beranggotakan orang-orang dengantrack record yang terbukti di bidangnya masing-masing.
2. Memastikan sudah ada arahan nasional yang legal mengenai iniserator, dan bahwa arahan arahan itu telah ditetapkan pada desain teknis detail proyek, termasuk konsekuensi biaya investasi dan operation and maintenance PLTSa.
3. Memastikan kebijakan dan strategis pengelolaan sampah kota dan masterplan persampahan Kota Bandung diselesaikan dengan kualitas tinggi dan mengacu pada kebijakan strategi nasional, sebelum proyek besar dan berisiko tinggi seperti PLTSa dijalankan.
4.Bersamaan dengan semua langkah di atas, menyiapkan langkah-langkah hukum yang diperlukan untuk mengantisipasi tuntutan dari pemenang tender, salah satunya dengan menjajaki kemungkinan upaya mediasi oleh fasilitator dari Pusat Mediasi Nasional.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Walhi Jawa Barat, Dadan Ramdan, menegaskan, dengan segala sisi negatifnya, Walhi Jawa Barat secara tegas menolak pembangunan PLTSa. "Walhi secara tegas meminta Wali Kota Bandung membatalkan pembangunan PLTSa," tegas Dadan.
Post Date : 01 September 2014 |