Mengolah Sampah JADI LISTRIK

Sumber:Republika - 18 Maret 2013
Kategori:Sampah Jakarta
Sampah tak hanya menimbulkan bau busuk, tetapi juga menawarkan manfaat besar. Sebut saja misalnya, gunungan sampah di Tempat Pembuangan Sampah Terpadu (TPST) Bantar Gebang, Bekasi, Jawa Barat, yang berguna sebagai sumber listrik. Listrik tidak serta merta berasal langsung dari sampah, tapi dari pengolahan yang menghasilkan gas metan.

Gas metan inilah yang diubah sehingga mampu menghasilkan listrik. Pengolahan sampah yang dilakukan di Bantar Gebang hingga menghasilkan gas metan menggunakan teknologi yang disebut landfill gas. Ini merupakan proses penguraian, penutupan, dan pemanasan sampah untuk menghasilkan gas metan. Salah satu penggagas teknologi ini adalah Henky Sutanto.

Ia menuturkan, pada proses awal sampah yang tersedia ditimbun dengan tanah. Kemudian, ditutup dengan terpal tebal berbahan plastik. Di tempat pembuangan sampah di Malang, Jawa Timur, proses penimbunan sampah mempertimbangkan aspek estetika dan landscapingkarena ditanami rumput. "Penataan seperti itu juga mampu mengurangi lalat," kata Henky, pekan lalu.

Langkah berikutnya, sampah yang ditutup itu diberi pipa-pipa vertikal. Pipa tersebut berguna menangkap gas metan. Biasanya, sampah yang telah ditimbun selama minimal dua bulan mampu menghasilkan gas metan. Di Bantar Gebang, jelas Henky, sampah yang tertutupi terpal plastik berusia sekitar 27 tahun. Penutupan juga berfungsi mengurangi bau metan yang menyengat.

Gas metan yang muncul disedot dengan menggunakan alat bernama suction blower. Gas ini dikumpulkan untuk menghidupkan dan menggerakkan generator dipower house. Menurut Henky, listrik yang ada bisa menghasilkan rupiah. Sebab, Perusahaan Listrik Negara (PLN) membelinya. Harganya dibanderol Rp 850 per kWh.

TPST Bantar Gebang mam pu menghasilkan sekitar 10 megawatt (mw) listrik tiap jam dari sekitar 2.000 ton sampah. Gunungan sampah terbagi dalam lima tumpukan atau zona. Luas masing-masing bisa mencapai 15 hektare. Setiap hari, 6.000 ton sampah dibuang di TPST yang mempunyai luas keseluruhan 120 hektare itu. Pengelolaan landfillgas dibangun pada 2009, beroperasi penuh setahun kemudian.

Wakil Direktur PT Godang Tuajaya Linggom Frederik Lumbantoruan selaku pengelola TPST Bantar Gebang mengatakan, komposisi sampah yang ditimbun 60-70 persen sampah organik. Menurutnya, jumlah sampah fluktuatif. Saat ini, jumlah sampah plastik semakin banyak dibandingkan sampah organik.

Padahal, menurutnya, sampah organik bisa menghasilkan lebih banyak gas metan dibandingkan sampah anorganik yang sulit didaur ulang atau diolah. "Kendala yang masih kami hadapi adalah kesulitan memisahkan antara sampah organik dan sampah anorganik," kata Linggom saat ditemui di TPST Bantar Gebang. Penyebabnya, pembuangan masih bersifat open dumping, semua jenis sampah berbaur.

Ia mengakui kesulitan pemilahan sampah justru terjadi saat sampah diangkut dengan truk sampah. Petugas kebersihan mencampur semua sampah. Sampah yang sudah dipilah oleh skala rumah tangga pun menjadi sia-sia. Kendala lain untuk memilah sampah adalah faktor sosial. TPST Bantar Gebang adalah sumber pendapatan bagi pemulung.

Mereka memilah-milah sampah secara manual untuk kemudian dijual kembali. Pihak pengelola bukannya tidak mempunyai alat konstruksi untuk memilah sampah, tapi hal itu masih ditentang para pemulung. Mereka takut kehilangan mata pencaharian jika pemilahan sampah dilakukan dengan mengandalkan mesin.

Selain landfill gas, PT Godang Tuajaya berencana mengembangkan pembangkit listrik tenaga sampah (PLTS). Pembangunan PLTS diharapkan mampu mendongkrak produksi listrik dari gas metan hingga 25 mw. Krisis energi, polusi lingkungan, dan perubahan iklim merupakan masalah serius dunia. Kini, landfillgas menjadi salah satu sumber energi terbarukan dalam mengatasi persoalan itu.

Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Lukman Hakim mengatakan, pengembangan landfillgas sebagai salah satu alternatif energi terbarukan perlu terus didukung. Ia menjelaskan, landfill gas memiliki komposisi utama 30-60 persen metan (CH4) dan 70-40 persen karbon dioksida (CO2). Sampah yang telah habis gas metannya akan diolah menjadi kompos.

Alat pemilah sampah merupakan hasil karya anak bangsa yang dibantu LIPI. Pengolahan sampah hingga menjadi pupuk kompos memakan waktu dua pekan. Per kilogram (kg) kompos dihargai Rp 1.000. Kompos dikemas dalam karung plastik berukuran 25 kg. Distribusi pupuk ini mencapai Surabaya, Lampung, dan Bengkulu. Dalam satu hari TPST Bantar Gebang mampu menghasilkan 50-100 ton kompos.

Selain itu, di sana ada pengolahan sampah plastik. Sampah tersebut dilebur menjadi bijih plastik. Air limbah dari sampah diolah untuk mengurangi kandungan zat yang berbahaya terhadap ling kungan. (Ani Nursalikah/ferry kisihandi)


Post Date : 18 Maret 2013