|
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah Kota Jakarta Utara berencana menghentikan seluruh pengambilan air tanah pada 2015. Penyedotan air selama ini dinilai telah berlebihan dan berdampak buruk terhadap lingkungan hidup. Sementara jumlah penerimaan pajak dianggap tidak signifikan. Wali Kota Jakarta Utara Heru Budi Hartono, saat membuka musyawarah perencanaan pembangunan tingkat kota Jakarta Utara, Senin (17/3), mengatakan, salah satu dampak dari masifnya penyedotan air yang terlihat adalah penurunan muka tanah. Dampaknya, genangan semakin rentan terjadi, antara lain di wilayah Penjaringan dan Cilincing, Jakarta Utara. ”Tahun depan tidak boleh ada sumur (air tanah dangkal dan dalam) lagi. Sebab, dampak buruknya lebih besar ketimbang manfaatnya. Pajaknya juga tidak signifikan,” kata Heru. Indonesia Water Institute (IWI) memperkirakan, jumlah air tanah yang disedot di wilayah DKI Jakarta mencapai 248 juta meter kubik per tahun. Angka itu jauh lebih tinggi dibandingkan dengan jumlah air tanah yang dibayar pajaknya atau mengantongi izin pengambilan, yakni 8,9 juta meter kubik per tahun. Perpipaan Heru menambahkan, larangan penyedotan berimplikasi pada putusnya penerimaan pajak dari pengambilan air tanah. Selain itu, operator dan pemerintah dituntut menyediakan air bersih melalui perpipaan untuk mengganti air yang selama ini diambil dari dalam tanah. ”Pemenuhan kebutuhan air bersih menjadi tantangan bersama. Caranya dengan menambah pasokan air baku dari luar DKI Jakarta serta sungai dan waduk atau mengolah air laut. Tantangan itu harus dilalui untuk menjaga lingkungan hidup Ibu Kota,” kata Heru. Dalam waktu dekat, lanjut Heru, pihaknya akan berkoordinasi dengan dinas terkait dan operator air bersih. Dia berharap, larangan itu terealisasi pada 2015. Ahli hidrologi dari Universitas Indonesia, Firdaus Ali, berpendapat, langkah yang akan ditempuh Wali Kota Jakarta Utara sejalan dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah 2013-2017 yang menargetkan suplai air bersih melalui perpipaan pada 2015. Target itu dicapai dengan mengurangi penyedotan air dan menambah cakupan layanan. ”Seluruh potensi harus didorong untuk memperluas cakupan layanan air bersih agar larangan penyedotan berjalan efektif di lapangan. Target itu selama ini terkendala pasokan air baku dan infrastruktur,” kata Firdaus. Hingga 2012, cakupan air bersih diperkirakan baru mencapai 46 persen dari sekitar 10,1 juta jiwa populasi melalui 807.000 sambungan. Sisanya memenuhi kebutuhan air bersih dari sumur air tanah dangkal atau air tanah dalam. Menurut Firdaus, penyedotan air tanah sudah sangat masif di DKI. Bahkan, penyedotan ilegal jauh lebih besar dibandingkan dengan penyedotan legal. Karena itu, pendapatan pajak pengambilan air tidak maksimal, yakni hanya sekitar Rp 67 miliar dari potensi sekitar Rp 750 miliar. Sejumlah pelaku usaha dan warga menyiasati pajak air tanah yang besarnya dari Rp 3.500 per meter kubik hingga Rp 23.500 per meter kubik dengan membangun sumur ilegal. Mereka diduga bersekongkol dengan oknum aparat untuk menghindari pajak air tanah yang terlampau besar. Penghentian izin penyedotan air tanah mendesak bagi DKI yang mengalami penurunan muka tanah parah dibandingkan dengan kota besar lain di Indonesia. Penurunan muka tanah parah tersebar di Jakarta Utara, Jakarta Barat, dan Jakarta Pusat. Sesuai observasi peneliti penurunan tanah Jakarta dari Institut Teknologi Bandung, Prof Dr Hasanudin Z Abidin, dengan menggunakan survei global positioning system, penurunan tanah yang terjadi di Jakarta selama 1997-2011 berkisar 1 cm hingga 15 cm per tahun (Kompas, 7/2). (MKN) Post Date : 18 Maret 2014 |