|
Total kebutuhan biaya untuk mencapai target pelayananan air minum yang aman dan berkelanjutan di Indonesia sesuai tujuan Pembangunan Milenium (MDGs) dari tahun 2011 hingga tahun 2015 mencapai Rp 65,27 triliun. "Kebutuhan biaya tersebut untuk mencapai target proporsi penduduk terhadap akses aman air minum tahun 2015 sebesar 68,87 persen. Hingga akhir tahun 2011, proporsi penduduk Indonesia terhadap akses aman air minum baru mencapai 55,04 persen,"kata Kepala Sub Direktorat Investasi, Direktorat Pengembangan Air Minum, Ditjen Cipta Karya, Kementerian PU, Mieke Kencanawulan, kepada wartawan, di Jakarta, Kamis (22/8). Menurut Mieke, biaya besar juga dibutuhkan untuk meningkatkan cakupan pelayanan air minum perpipaan di daerah perkotaan, yang hingga akhir tahun 2011 baru mencapai 27,05 persen, sedangkan target sesuai MDGs tahun 2015 sebesar 41,03 persen. Dijelaskan Mieke, sumber pendanaan sebesar Rp 65,27 triliun itu dapat disediakan melalui berbagai skema pembiayaan, di antaranya melalui APBN Perkotaan dan Perdesaan sebesar Rp 31,63 triliun, DAK Perdesaan dan Perkotaan sebesar Rp 6 triliun, APBD/ CSR/PIP sebesar Rp 13,34 trilyun, PDAM/Perbankan Rp 8 triliun, dan Kerja sama Pemerintah-Swasta (KPS) Rp 6,30 triliun. Dana melalui APBN, menurut Meike, antara lain dimanfaatkan untuk untuk fasilitasi pengembangan sistem penyediaan air minum (SPAM) unit air baku dan unit produksi pada SPAM ibu kota kecamatan (IKK), kawasan perbatasan/pulau terdepan, kawasan tertinggal (kumuh, nelayan, dan ibu kota kabupaten pemekaran). "Termasuk memfasilitasi pengembangan SPAM perdesaan di desa rawan air melalui pemicuan perubahan perilaku menjadi hidup bersih dan sehat, pembangunan modal sosial, capacity building bagi masyarakat, serta pembangunan dan pengelolaan SPAM berbasis masyarakat," kata Meike. Menurutnya, pemenuh-an kebutuhan air minum sesuai Standar Pelayanan Minimum (SPM), sebenarnya merupakan tanggung jawab pemerintah kab/kota, namun pemerintah pusat melalui dana APBN juga wajib memberikan bantuan teknis, yaitu untuk memfasilitasi pemenuhan kebutuhan air baku, pelayanan bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR), dan di lokasi baru dan rawan air. "Termasuk dukungan bantuan teknis untuk program penyehatan PDAM dan program penyediaan sarana air minum dan sanitasi di daerah perdesaan," katanya. Menurut Meike, dibutuhkan kerja sama yang baik antara pemerintah pu-sat, pemerintah daerah dan perusahaan PDAM dalam menyediakan dana pembiayaan untuk meningkatkan kualitas pelayanan air minum di seluruh Indonesia, apalagi pihak yang bertanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan air minum sesuai standar pelayanan minimum (SPM) adalah pemerintah kabupaten/kota. Selain melalui APBN, ada alternatif pembiayaan untuk pengembangan SPAM, di antaranya melalui pemberian jaminan dan subsidi bunga oleh pemerintah pusat berdasarkan Perpres 29/2009, kerja sama pemerintah-swasta (KPS), melalui dana kemitraan sosial perusahaan (CSR) atau melalui Community-Based Organi-zation (CBO) yang dikelola masyarakat melalui lembaga keuangan daerah. "Alternatif pembiayaan lainnya bisa melalui Pusat Investasi Pemerintah, obligasi atau dana hibah atau dana perwalian dari luar negeri, misalnya lewat Program AusAID dan USAID," katanya.
Post Date : 23 Agustus 2013 |