Karyo memarkir gerobak
oranyenya di depan pos polisi Kelurahan Rorotan. Perawakan kecil, kulit kusam,
kaus basah, hingga tembus pandang karena seharian ini hujan deras. Tanpanya
mungkin hujan bisa menjadi bencana untuk masyarakat.
Seharian
ini Karyo bekerja mulai pukul 06.00 WIB hingga pukul 18.00 WIB. Tidak selalu
sampai sesore itu ia bekerja. Tergantung dari banyaknya sampah yang diangkut.
Kalau sampai Magrib belum juga selesai, ia akan melanjutkannya besok.
Karyo
hanya beristirahat saat makan siang dan ketika selesai bekerja. “Kalau dibawa
kerja terus mah nggak capek, kalau kebanyakan istirahattuh baru kerasa capek,” kata Karyo sembari mengelap keringat saat
berbincang dengan ROL,
Sabtu (22/2).
Karena
pekerjaannya, sebagian orang menyebutnya sebagai “tukang sampah”. Dengan
gerobaknya, setiap hari ia berkeliling mengangkat sampah dari tempat pembuangan
di rumah-rumah penduduk. Sampah itu kemudian dibawa ke dekat Perumahan Garden.
Dalam
sehari, biasanya lima kali ia akan berkeliling mengangkut sampah di tiga RT
tanggungannya. Ia akan diupahi Rp 250 ribu setiap RT. Maka, dalam sebulan ia
akan menerima gaji Rp 750 ribu. Gajinya ia peroleh dari ketua RW setempat.
Dalam satu RW terbagi menjadi 12 RT. Tiga petugas kebersihan lainnya mengangkut
sampah di RT-RT lain.
Ia
juga mendapatkan upah dari ibu-ibu perumahan. Kadang Rp 5.000, tapi bisa juga
Rp 10 ribu. “Buat jajan sama rokok, katanya,” ujar Karyo.
Mulutnya
sedikit bergetar ketika berbicara, menahan rasa dingin. Tubuhnya hanya ditutup
kaus yang berlubang di beberapa tempat, juga celana jins belel berlubang yang
dilinting hingga lututnya. Hujan sepanjang hari membuat keadaannya kurang baik.
Pria
asal Indramayu itu baru empat bulan bekerja di Kelurahan Rorotan. Ia tiba di
Depok pada 1999, lalu bekerja sebagai pencari rongsokan. Menjadi petugas
kebersihan dilakukannya setelah ada seorang teman yang mengajak.
Kini
ia masih mengumpulkan rongsokan. Pekerjaan itu ia lakukan sambil berkeliling
menjadi tukang sampah. Rongsokan itu kemudian dibawanya ke pengepul untuk
dikilokan. Dari sanalah ia mendapat tambahan penghasilan. Kemasan botol
plastik, misalnya, akan dihargai Rp 3.000 sampai Rp 4.000 per kilogram.
Sedangkan, kardus seribu rupiah per lembarnya. Dari sampah ini, sehari ia bisa
mengumpulkan hingga Rp 70 ribu.
Pernah
suatu kali ia sakit. Badannya meriang dan lemas, kepalanya pusing. Ia minta
izin kepada ketua RT untuk istirahat. Selama setengah bulan ia tidak menarik
gerobak. Maka, selama itu sampah di tiga RT Kelurahan Rorotan tidak ada yang
mengangkut. Untunglah hal itu tidak membuat gajinya dipotong.
Gajinya
masih harus digunakannya untuk membayar ongkos angkot dari Kampung Sawah. Di
sanalah rumah papannya berada. Untuk tidur dan mandi, tidak dipungut biaya. Ia
hanya membayar untuk makan. “Saya //ngikut// bos,” katanya. Bos yang dimaksud
adalah juragan rongsokan.
Untuk
kebutuhan hidup, dalam sebulan ia harus mengeluarkan Rp 900 ribu bersih.
Sisanya ia tabung. “Saya titip ke bibi saya. Buat kawin,” ujar Karyo yang
mengaku lebih memercayai bibinya itu dibanding harus menabung di bank.
Lain
halnya dengan Takam. Ia mendapat gaji Rp 300 ribu per bulan untuk mengangkut
sampah satu RT di Kompleks Malaka Indah. Sampahnya ia kumpulkan di tanah lapang
dekat perumahan mewah tersebut. Dalam sehari seringnya ia mengumpulkan sampah
empat gerobak dari empat gang dalam satu RT. “Kalau habis ada hajatan, lebih
banyak lagi,” katanya menjelaskan.
Dari
tanah lapang itu nantinya sampah akan dibawa truk milik RW setempat. Sejak
pukul 05.00 WIB, ia dengan sepedanya berangkat dari kontrakan di Tambun Rengas.
Biasanya pekerjaannya selesai sampai pukul 12.00 WIB. Setelah itu, ia langsung
pulang untuk istirahat.
Di
kontrakan Takam dan keluarganya tinggal. Istrinya sudah lama meninggal. Satu
anaknya sudah menikah dan memberinya cucu serta tinggal di kontrakan sebelah
kontrakan Takam. “Sampai sekarang, ya seringnya masih saya yang bayar
apa-apanya,” ujar bapak tiga anak ini.
Satu
setengah tahun yang lalu, ia belum mendapat gaji dari ketua RT. Dulunya ia
memperoleh upah dari perorangan yang sampahnya diangkut. Penghasilannya tidak
pasti, setiap rumah memberi upah yang berbeda nilainya. Kadang Rp 10 ribu, ada
juga yang memberi Rp 50 ribu. Sekarang pun masih ada yang memberi upah
perorangan.
“Ya,
buat nyarap sama ngopi-lah, ya,” katanya sambil mengunyah nasi dengan lauk
ikan, Ahad (23/2). Kadang memang ada juga yang membungkuskan sarapan atau makan
siang untuknya.
Untuk
sampingan, ia juga mengumpulkan rongsokan. Sehari ia mendapat bayaran Rp 15
ribu, kadang Rp 40 ribu. Sering kali ia tidak mencari sendiri rongsokan itu,
tapi diberi ibu-ibu di perumahan. “Bersih-bersihdoang mah nggak cukup. Buat bayar kontrakan Rp 300 ribu sebulan, habis
duitnya,” katanya.
Takam
tidak pernah bolos bekerja. Ketika sakit pun, ia tetap keliling mengambil
sampah. Ia merasa kasihan kepada warga jika sampah dibiarkan menumpuk. Bahkan,
ketika hari hujan, ia tetap mengambil sampah. “Kemarin dua hari lepek nungguin hujan
reda, nggak pulang nanti saya,” ceritanya sambil tertawa.
Hujan
dua hari ini memang tidak seharusnya ditunggu. Saat beginilah mereka paling
dibutuhkan. Sampah tidak pernah bersahabat dengan baik. Biar hujan, baju basah,
menggigil, dan kepala pusing, Karyo, Takam, serta teman-temannya tidak surut.
Sampah menghidupi mereka. Dan, lingkungan membutuhkan mereka.
Post Date : 11 Maret 2014
|