|
Bukan perkara mudah mengubah kebiasaan. Seperti tak mudahnya
mengajak warga di Perumahan Atas Air, Balikpapan Barat, untuk
menggunakan kloset yang terintegrasi ke Instalasi Pengolahan Air Limbah
(IPAL).
JINGGA senja menyapa permukiman atas air, Margasari,
kemarin. Bulan sebentar lagi turun. Jelang malam, kawasan permukiman di
bibir laut Kota Minyak -- sebutan Balikpapan -- ini indah dengan temaram
sinar mentari yang pelan-pelan menghilang, berpadu terang obor dari
cerobong di kilang Pertamina yang hanya berjarak satu pandangan mata.
Beberapa gazebo berjejer rapi di pinggir jalan tepi laut (coastal road),
tepat di depan permukiman ini. Jalan tepi laut yang relatif besar. Dua
jalur walau tanpa median. Konstruksinya juga beton. Pinggirnya sudah
berpagar besi.
Tegakan tanaman bakau lengkap dengan papan peringatan tak boleh
menebang, memberi sentuhan hijau kawasan itu. Wilayah ini jadi titik
baru bagi muda-mudi hingga keluarga menghabiskan waktu dengan bersantai.
Biasanya jelang sore sampai malam. Bercengkerama, berbagi cerita,
diselingi dengan menikmati aneka kuliner.
Sekarang, ada satu hal yang berbeda dari kawasan permukiman atas air ini, kata Mukmim Azis, warga sekitar, saat bertemu Kaltim Post,
kemarin. Tidak ada lagi tercium bau tak sedap menyengat yang datang
dari surut air laut. Ya, saat malam, biasanya air laut di kawasan ini
mengering. Ketika itulah aroma kotoran biasa membuncah. Kotoran rumah
tangga yang dulu langsung dibuang ke laut oleh warga. “Sekarang, kalau
air surut enggak ada bau yang menyengat lagi,” katanya.
Tak ada lagi bau ini salah satu efek dari pengelolaan limbah rumah
tangga di kawasan itu. Sejak 2003 lalu, tak jauh dari Perumahan Atas Air
berdiri IPAL Margasari. Diresmikan gubernur Kaltim masa itu, Suwarna
Abdul Fatah.
Kata Mukmim Azis, dulu sebelum IPAL beroperasi, kotoran rumah tangga langsung terjun ke laut dari tiap rumah. Tak ada septic tank.
Tak ada pipa pembuangan. Kebiasaan langsung cempelung itulah yang kini
berkurang. Tapi itu tak serta-merta. Prosesnya lama. Warga tak begitu
saja langsung menghilangkan kebiasaan untuk tidak membuat kotoran ke
laut. Sosialisasinya panjang. Sedikit demi sedikit, warga mulai sadar
akan kebersihan laut, dan jadi pelanggan sambungan rumah dari IPAL.
Kini, kata Mukmin, dengan semakin banyaknya warga yang buangan WC dan
kamar mandi terkoneksi ke IPAL, setidaknya tidak ada lagi aroma tak
sedap di kawasan ini. “Pikiran kami dulu pertama buat apa pakai WC. Dulu
‘kan jamban orang langsung cempelung. Jadi jamban kami itu dulu kayu
saja dibolongi. Sekarang sudah pakai WC,” kata pekerja swasta yang
tinggal di Jalan Sepaku, Gang Manuntung, RT 06, No 30, Perumahan Atas
Air, Margasari, Balikpapan Barat ini.
Pria yang memang sejak lahir tinggal di kawasan itu, tepatnya 1985,
bercerita sebelum ada IPAL keluarganya dan warga sekitar memang terbiasa
dengan jamban tanpa pipa pembuangan yang mengarah ke septic tank.
Pada 2004, saat terjadi kebakaran besar di kawasan ini, menghanguskan
rumah di 12 RT, termasuk rumahnya, warga kembali membangun rumah dengan
desain yang lebih permanen. Saat itu jugalah warga mulai menggunakan WC
yang terintegrasi ke IPAL.
Dengan toilet yang terintegrasi ke IPAL, warga dikenakan retribusi.
Yakni, Rp 15.000 per rumah per bulan. Retribusi bagi rumah tangga yang
merupakan pelanggan PDAM ditarik bersamaan dengan iuran air tiap bulan.
Sedangkan yang belum pelanggan PDAM, ditarik dengan cara konvensional
alias petugas datang langsung ke rumah-rumah.
Dia menambahkan, kesadaran warga untuk tak lagi membuang sampah ke
laut juga kini semakin baik. Lingkungan di kawasan itu menjadi lebih
bersih. Minim sampah di permukiman yang umumnya berfondasi kayu tinggi
tertancap ke laut. “Waktu ada IPAL sih pernah ada bau lagi tapi itu pas
pipanya tersumbat. Pas pipanya sudah baik, enggak ada lagi baunya,”
jelasnya.
MEMBANGUN KESADARAN
Menghilangkan bau terdengar hal yang remeh. Padahal, ini butuh proses
panjang. Bau hilang adalah salah satu dari efek positif pengelolaan air
limbah di Perumahan Atas Air. Mengelola air limbah di kawasan itu tak
sederhana. Ini adalah persoalan mengubah kebiasaan. Tak kilat meminta
warga untuk mau beralih dari menggunakan jamban ke WC dengan pipa yang
terkoneksi ke IPAL.
Apalagi, warga diminta untuk membayar retribusi bulanan. Retribusi
bulanan inilah yang digunakan untuk seluruh aktivitas operasional IPAL
yang mempekerjakan sembilan staf ini.
Limbah yang diolah di IPAL datang dari kloset, kamar mandi, hingga dapur. Yang padat pun bisa diolah.
Kepala Bagian (Kabag) IPAL Margasari, PDAM Balikpapan Anang
Fadliansyah mengatakan, sosialisasi yang dilakukan pihaknya untuk
membangun kesadaran warga menggunakan IPAL bukan sehari dua hari.
Tahunan. Pria yang baru tiga bulan menjadi Kabag di IPAL ini menyebut,
setidaknya sosialisasi yang lebih gencar sudah berjalan dalam empat
tahun terakhir.
Setahun dua kali pihaknya mendatangi warga. Mengumpulkan para ketua RT
di Perkampungan Atas Air, Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (LPM), tokoh
masyarakat sekitar, hingga kelurahan, tentang pentingnya pemanfaatan
air IPAL. “Sejauh ini, memang warga belum ada yang memanfaatkan (air
terolah dari IPAL).
Karena mindset mereka ini air dari kotoran, najis,” katanya,
kemarin. “Belakangan, barulah ada keinginan warga untuk memanfaatkan air
IPAL ini untuk mitigasi musibah kebakaran. Kami siap saja. Namun perlu
penunjang, seperti bak penampungan, pompa, hingga pipa. Yang ini bukan
bagian kami,” lanjutnya, menjelaskan.
Tahun ini, jelas dia, pihaknya mengusulkan penambahan pelanggan IPAL.
Ada bantuan dari Australia Agency for International Development (AusAID)
berupa dana hibah. Rencana penambahan itu pun kini dalam tahap
penyusunan detailed engineering design (DED) dari konsultan
pendamping. Targetnya ada seribu sambungan baru yang sudah termuat dalam
peta kawasan potensial. Yakni, di Kelurahan Karang Jati, Margasari, dan
Baru Tengah.
Ketiganya berlokasi tak jauh dari IPAL Margasari. Bantuan AusAID itu,
kata dia, rencananya Rp 3 juta per satu sambungan rumah (SR). Jatah itu
tentu belum cukup. Satu SR membutuhkan Rp 5,8 juta. “Bantuan AusAID itu
Rp 3 juta per SR, nah ini yang kita masih belum pasti sisanya akan
dialokasikan dari mana,” kata pria yang sebelumnya menjabat sebagai
Kasubbag Perencanaan PDAM Balikpapan ini.
MENGOLAH LIMBAH
Anang Fadliansyah menyebut, kini pelanggan IPAL ada 1.385 rumah yang
tersebar di dua kelurahan. Yakni, Baru Tengah dan Margasari. Mayoritas
sambungan di Margasari, 20 persen di Baru Ulu. Di Margasari sendiri yang
merupakan pelanggan terbanyak IPAL, jumlah penduduknya hingga akhir
2013 ada 12.137 orang atau 3.873 kepala keluarga (KK). Di rumah-rumah
warga itu, di kloset dan kamar mandi ada pipa yang terhubung ke bak
internal control (IC), yang jaraknya dari rumah rata-rata 25 meter. Satu
bak IC menampung buangan kloset dari enam hingga tujuh rumah. Ukuran
bak IC, 80 cm x 80 cm x 100 cm.
Dorongan dari pipa kloset ke bak IC sederhana, memanfaatkan gravitasi.
Bak IC proses kedua setelah buangan di kloset. Jadi, semua kotoran
tertampung di sini. Kotoran cair hingga padat. Belum ada proses
pemilahan alami. Fungsinya hanya sebagai penampung. Dari bak IC, limbah
dialirkan ke bak manhole yang ukurannya lebih besar, 100 cm x 100 cm x
100 cm. Pada tahap ini juga masih proses penampungan estafet. Baru
setelah masuk bak sedimentasi ada proses pemisahan air dan lumpur.
Setelah itu masuk ke bak equalisasi yang berfungsi meratakan beban
aliran air limbah.
Proses kimia baru terjadi di tangki larutan bahan kimia, yakni
memasukkan kaporit dengan dosis tertentu. Proses selanjutnya limbah
masuk ke bak aerasi. Bak ini berfungsi untuk penambahan oksigen air
limbah dengan floating aerator agar bakteri selalu hidup. Setelah itu
masuk ke bak air terolah. Ini adalah penampungan air yang sudah melalui
sejumlah proses tadi. Air dari bak olahan ini dimanfaatkan untuk mobil
tangki yang biasanya digunakan Dinas Kebersihan Pertamanan dan Pemakaman
(DKPP) Balikpapan menyiram tanaman di seluruh kota.
Air yang sudah jernih tapi tak steril itu juga disuplai ke tangki
pemadam kebakaran. Airnya juga disuplai untuk membersihkan Pasar
Pandansari yang terletak di depan IPAL Margasari. Tiap hari, IPAL ini
mampu mengolah air limbah sebanyak 800 meter kubik. Sedangkan pemakaian
tiap hari saat ini masih pada angka rata-rata 160 meter kubik. Masih
banyak yang dapat dimanfaatkan.
Tak hanya air, dari proses IPAL ini juga dihasilkan lumpur yang
ditampung di bak pemisah lumpur. Lumpur hasil olahan itu digunakan
sebagai pupuk organik. Ada delapan bak yang digunakan untuk menampung
lumpur yang sudah terpisah.
Lumpur ini biasanya periodik per dua bulan sekali diolah menjadi pupuk
dengan ditambah serbuk gergaji dan bahan lainnya. “Pupuknya ya kita
pakai sendiri buat tanaman di sini (sekitar IPAL). Enggak kita
komersilkan,” kata Anang. (far2/k8) Post Date : 09 Mei 2014 |