Ketergantungan pada Jawa Barat Tinggi

Sumber:Media Indonesia - 12 April 2013
Kategori:Air Minum
HiNGGa kini pasokan air baku dari PDam Jaya untuk memenuhi kebutuhan warga Jakarta masih bergantung pada Jawa Barat. sekitar 83% pasokan air baku ke Jakarta berasal dari Jawa Barat, yakni dari Waduk Jatiluhur, juga dari PDam tangerang, Banten, sebanyak 14%. Untuk sumber air dari Jakarta berasal dari Kali Krukut dan Kali Pesanggrahan yang totalnya cuma 3%.

Dirut PDam Jaya sri Widayanto Kaderi kepada Media Indonesia menjelaskan pasokan air baku PDam Jaya dari Waduk Jatiluhur sebanyak 16,3 m3/detik dengan harga Rp190/m3 pada 2013 dan dari PDam tangerang sebanyak 2,875 m3/detik dengan harga Rp2.305/m3 pada tahun lalu. tahun ini harga air dari tangerang akan naik, tapi masih dalam pembahasan.

sri menambahkan sampai sekarang upaya pelayanan air bersih terhadap konsumen terus dilakukan melalui dua operator mitra PDam Jaya, yakni Pt aetra dan Pt Palyja.

“Komitmen kami bisa mendapatkan konsumen hingga 100% pada 2020. sekarang ini baru terlayani 57% lewat sistem sambungan langsung dari perpipaan. sisanya sekitar 43% melalui pelayanan hidran umum dan stasiun air. Untuk kios air sebanyak 15%, sisanya dari sumur dangkal dan sumur dalam seperti untuk pabrik, perumahan mewah, dan lainnya.“

Untuk mengatasi kebocoran dilakukan sistem zonasi agar lebih terkontrol dengan menggunakan model district meter area. Ditambah dengan pencarian bocoran pipa menggunakan teknologi pengukuran lewat alat dan bahan gas serta getaran gelombang air dalam pipa sebagai petunjuk bila ada pipa bocor. “tahun lalu kebocoran sudah bisa diturunkan hingga 3% dari total 45% pada 2011.“

Ia berharap nantinya air baku yang dipasok dari Jawa Barat bisa bergeser dari 13 sungai yang membelah Kota Jakarta yang sudah melalui proses pembersihan. “Paling tidak, daya tahan air baku di Jakarta dapat meningkat 15% hingga 20% dari saat ini hanya 3%-4%. ini salah satu persoalan yang akan dibahas dengan Gubernur DKi,“ terangnya.

PDam Jaya pun sudah mulai memperbaiki poin-poin perjanjian kerja sama dengan dua operatornya, yakni aetra dan Palyja.

selama ini beberapa perjanjian kerja sama tidak menguntungkan PDam Jaya. sri mencontohkan poin defisit soft fall (imbalan air) akan diselesaikan sebesar Rp250 miliar kepada aetra sehingga PDam Jaya tidak lagi punya utang soft fall. Namun, semua menjadi tanggung jawab aetra. Untuk jasa pengembalian investasi sesudah rebalancing, aetra hanya 15,82% dari sebelumnya 22%.

Dengan model semacam itu, lanjut sri, aetra tidak akan menaikkan tarif air hingga akhir kontrak selesai pada 2027. sebaliknya Palyja belum menyetujui rebalancing tersebut.

Namun, langkah yang ditempuh PDam Jaya dianggap sebagai proyek rugi. Hal itu disampaikan anggota Divisi advokasi Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, arif maulana. “Proyek rugi ini hanya berlaku untuk Pemprov DKi dan PDam Jaya, dan berujung masyarakat menjadi korban,“ terangnya.

Ia melihat Palyja dan aetra tetap bisa mengeruk keuntungan besar dari perjanjian swastanisasi pengelolaan air Jakarta. apalagi aset yang digunakan untuk produksi ialah aset PDam Jaya. “sDm yang tersedia sebagian besar karyawan PDam, tapi keuntungan masuk ke swasta,“ kata arif.

Ia melihat perjanjian PDam Jaya dengan Palyja dan aetra telah bermasalah sejak 1998. PDam Jaya harus menanggung kerugian karena ada klausul full cost recovery, watercharge, short fall, maupun support letter yang menyebabkan utang PDam ke swasta diperkirakan mencapai Rp18,2 triliun.

menurutnya, yang seharusnya dilakukan PDam Jaya ialah menghentikan kontrak dengan swasta. selanjutnya, PDam Jaya mengelola air secara mandiri seperti yang dimandatkan konstitusi dan peraturan perundang-undangan khususnya Perda Nomor 13 tahun 1992 tentang Perusahaan Daerah air minum. (ssr/YP/J-4)


Post Date : 12 April 2013