|
Pernahkah Anda membayangkan minum air embun? Bagaimana caranya? Pengusaha Budhi Haryanto menemukan teknologi yang memproduksi tetesan embun dalam volume ribuan liter. Inspirasi bisa datang dari mana saja dan kapan saja. Bagi Budhi Haryanto, inspirasi tersebut muncul pada akhir Oktober 2001 di Seattle, negara bagian Washington, Amerika Serikat (AS). Malam itu udara dingin Negeri Paman Sam seakan mengembuskan ide brilian ke kepala Budhi. Ketika itu, Budhi yang tinggal dan berbisnis di AS tengah mengobrol santai dengan teman-temannya. Entah siapa yang memulai, obrolan menyentuh tema tentang Timur Tengah, negara kaya minyak namun sedikit sumber air bersih. Tapi, bukankah Timur Tengah memiliki garis pantai? Bukankah wilayah di sekitar pantai pasti memiliki kelembapan udara karena air laut yang menguap terkena sinar matahari? Bagaimana jika uap air yang bersih dan bebas garam tersebut disedot? Bukankah akan menjadi seperti embun yang bening? Itulah pertanyaan-pertanyaan yang muncul di benak Budhi saat itu. Sejurus kemudian, ingatan Budhi melayang menembus ruang dan waktu. Pria asal Solo, Jawa Tengah, tersebut ingat bagaimana orang-orang tua zaman dahulu mengisi air minum ke dalam kendi (semacam teko dari tanah liat), lalu menaruhnya di luar rumah pada malam. Paginya, kendi itu diselimuti embun. Air di dalam kendi tersebut menjadi dingin dan dipercaya memiliki khasiat yang menyehatkan. Ingatan Budhi ditarik lagi ke sebuah pabrik tekstil miliknya di wilayah Boyolali, Jawa Tengah. Di pabrik itu terdapat alat humidifier yang berfungsi menyemprotkan udara lembap dengan kadar air cukup tinggi agar benang yang ditenun mesin tidak mudah putus. “Saya lalu berpikir, bagaimana kalau fungsi humidifier dibalik” Bukan menyemprotkan udara lembap, tapi menyedot udara lembap untuk menghasilkan air embun dan udara sejuk. Ini kan konsepnya seperti AC (air conditioner), tapi harus didesain agar menghasilkan air yang cukup banyak dan sehat dikonsumsi,” jelasnya dengan antusias kepada Jawa Pos yang menemui di kantornya di kawasan Jakarta Pusat akhir pekan lalu. Sejak malam itu, otak Budhi terus bergerak. Ide-ide yang berkelebat itu bagaikan potongan puzzle yang coba dia susun. Namun, pria 62 tahun tersebut memiliki keterbatasan dalam hal kemampuan teknis karena memang tidak punya latar belakang pendidikan di bidang engineering. Kuatnya naluri bisnis membuat dirinya langsung terjun ke dunia usaha setelah lulus SMA. Ide memproduksi embun pun sempat menemui jalan buntu. Pucuk dicinta ulam tiba. Peribahasa tersebut cocok menggambarkan kondisi Budhi ketika itu. Di tengah kebuntuan gagasannya, tiba-tiba datanglah Mike Morgan, seorang engineer AS, yang tertarik dengan ide produksi embun yang digagas Budhi. Morgan mendengar ide brilian tersebut dari salah seorang rekannya. “Ketika itu, banyak yang terjadi secara kebetulan, seperti sudah diatur oleh Yang di Atas (Tuhan, Red),” ungkap pria ramah dan murah senyum tersebut. Budhi pun langsung berduet dengan Morgan. Ide-ide serta pengalaman lapangan Budhi dipadukan dengan kemampuan teknis Morgan. Sekitar 3,5 tahun kepingan-kepingan ide itu berhasil disatukan. Hasilnya, terciptalah teknologi Systemized Dew Process (SDP) atau proses pembuatan embun secara sistematis. Cara kerjanya sederhana. Alat tersebut menyedot udara lembap, lalu memisahkan uap air dari partikel kotoran dengan micro particle separator system (MPSS), dan memasukkan uap air ke dalam ruangan bersuhu rendah, sehingga uap air itu berubah menjadi embun. Menurut Budhi, ide teknologi itu mereplikasi proses alamiah produksi embun. Yakni, adanya air yang menguap atau evaporasi karena pemanasan oleh matahari. Sebagian uap air naik dan menjadi awan, sebagian lainnya tidak sempat naik karena suhu permukaan bumi sudah turun ketika matahari terbenam. Uap air yang tidak sempat naik itulah yang kemudian menjadi embun dan menempel di dedaunan saat pagi. Teknologi SDP lantas dikemas dalam sebuah alat berbentuk seperti kontainer sepanjang 15 meter. Setelah selesai diproduksi di AS, pada Oktober 2004, alat tersebut dikirim ke Indonesia. Tepatnya ke sebuah pabrik di Gunung Sindur, Bogor. “Indonesia adalah negara tropis. Kelembapan udaranya tinggi. Jadi, sangat prospektif untuk memproduksi embun,” ujar Budhi. Berbagai uji kesehatan pun dilakukan. Menurut dia, berdasar hasil uji praklinis oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Biomedis dan Farmasi, Badan Litbangkes, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, air hasil teknologi temuan Budhi itu bebas dari kandungan mineral anorganik (sodium, garam, klorida); logam berat (timbal, merkuri); serta cemaran pestisida yang mengganggu kesehatan. Uji praklinis tersebut lantas dilanjutkan dengan uji klinis di RSUD dr Soetomo Surabaya. Hasilnya memuaskan karena air jernih itu sangat bermanfaat bagi kesehatan. Akhirnya, pada 2008, Budhi merintis bisnis produksi air minum di Indonesia dengan merek dagang Purence. Saat ini kapasitas produksinya mencapai 15 ribu liter per hari. Selain dipasarkan di Indonesia, Purence sudah diekspor ke beberapa negara tetangga. Salah satunya Singapura. Di Indonesia, daya inovasi Budhi terus berkembang. Dia berpikir, selain embun, teknologi SDP menghasilkan udara dingin, sehingga bisa dimanfaatkan sebagai penyejuk ruangan (AC). Budhi berduet dengan Arda R. Lukitobudi, ahli lulusan Institut Teknologi Bandung (ITB) dan Royal Melbourne Institute of Technology (RMIT) Australia. Duet itu menghasilkan alat yang lebih multifungsi. Jika awalnya alat SDP seukuran kontainer sepanjang 15 meter, alat baru itu hanya seukuran lemari pakaian dua pintu. Alat tersebut dirancang untuk keperluan rumah tangga atau kantor. “Memang belum dijual di luar. Baru saya aplikasikan di kantor saya. Tapi, dalam waktu dekat masuk tahap produksi secara komersial,” tuturnya. Alat tersebut bisa menghasilkan empat produk sekaligus. Yakni, air embun yang jernih dan tidak terkontaminasi, udara bersih dan dingin semacam pengganti AC, dryer atau udara kering yang bisa digunakan untuk mengeringkan pakaian, serta air panas untuk mandi. Semua itu bisa didapat dari satu sistem dengan listrik satu kali yang jauh lebih hemat. Berapa listrik yang dibutuhkan? “Untuk alat yang saya pasang ini sekitar 6.000 watt. Memang cukup besar. Tapi, kalau untuk kebutuhan rumah tangga, listriknya bisa lebih kecil. Alat ini sudah saya uji selama hampir dua tahun dan tidak ada masalah,” katanya. Arda R. Lukitobudi menambahkan, secara komersial, alat tersebut nanti lebih difungsikan sebagai pengganti AC, sehingga tidak hanya menyasar konsumen rumah tangga, tapi juga perkantoran dan pabrik. “Bedanya, sistem pendingin ini menghasilkan air embun yang sehat untuk dikonsumsi, sehingga bisa menjadi air minum karyawan,” jelasnya. Bukankah AC juga menghasilkan tetesan air” Menurut Arda, air tetesan AC tidak sehat dikonsumsi karena mengandung unsur logam yang berbahaya bagi tubuh. AC tidak didesain untuk memproduksi air minum, sehingga udara dinginnya bersentuhan dengan komponen logam mesin AC. Budhi dan Arda lantas mengajak Jawa Pos ke lantai dua bangunan yang juga difungsikan sebagai rumah tinggal itu. Di dapur, terdapat galon air minum berbentuk bulat berukuran 11,8 liter. Sebuah pipa terhubung ke lubang bagian atas galon tersebut. Dia lantas memencet tombol di dekat galon dan air pun mengalir dari pipa ke dalam galon. Alirannya kecil seperti keran air yang hanya dibuka sepertiga atau seperempat. Itulah air embun hasil teknologi SDP. “Kalau alat ini dinyalakan 24 jam, kira-kira bisa menghasilkan 40 liter embun sehari,” ujarnya. Budhi menyebutkan, jika digunakan oleh gedung-gedung perkantoran atau bangunan komersial seperti pusat perbelanjaan dan hotel, alat tersebut mampu menghasilkan ribuan liter embun yang bisa menjadi sumber air minum alternatif. “Eksploitasi air tanah besar-besaran sebagai sumber air minum bisa berdampak kurang baik bagi kondisi lingkungan. Misalnya, bisa mengakibatkan penurunan permukaan tanah,” katanya. Berkat inovasi itu, Budhi diganjar beberapa penghargaan bergengsi. Pada 2005, teknologi SDP hasil kreasinya bersama Mike Morgan merebut Innovation Award dalam ajang AHR Expo di Orlando, Florida, AS. Lalu, pada 2010, alat yang sama meraih Piala Rintisan Teknologi yang diserahkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Sebelumnya, pada 2008, Purence berhasil menjadi “Air Minum Exclusive” dalam ajang Clinton Global Initiative (CGI) Asia di Hongkong yang digagas lembaga yang didirikan mantan Presiden AS Bill Clinton. “Ini foto saya dengan Bill Clinton di acara CGI ketika itu,” ujar Budhi lantas tersenyum sambil menunjuk foto di dinding kantornya. Post Date : 09 Juli 2013 |