|
Jakarta, Kompas - Setelah sebelumnya sempat berada di bawah kendali badan pengendalian dampak lingkungan yang telah dibubarkan, pengelolaan bahan berbahaya beracun alias B3 dan limbah B3 di Indonesia akhirnya menjadi salah satu kedeputian di Kementerian Negara Lingkungan Hidup. Keberadaannya diperkuat Peraturan Presiden Nomor 9 dan 10 Tahun 2005 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Kementerian Negara Republik Indonesia. Salah satu pertimbangan pembentukan kedeputian baru itu adalah untuk meningkatkan pemantauan dan penanganan limbah B3. Selama ini, Indonesia menjadi salah satu negara tujuan pembuangan limbah B3 dari negara-negara maju. Terakhir, ekspor limbah B3 dari Singapura di Pulau Galang Baru sebanyak 1.149 ton yang dikemas dalam 1.762 kantong tanpa sepengetahuan pemerintah pusat. Hingga kini, pemerintah masih berupaya keras mereekspor limbah tersebut. Catatan Kementerian Negara Lingkungan Hidup (LH), limbah B3 dari beberapa negara mulai masuk ke Indonesia sejak tahun 1980-an. "Persoalan limbah B3 makin serius sehingga butuh penanganan setingkat deputi," kata Sekretaris Menteri Negara LH Arief Yuwono, Kamis (24/2). Kedeputian tersebut bersama enam kedeputian lain, masing- masing Deputi Tata Lingkungan, Pengendalian Pencemaran Lingkungan, Peningkatan Konservasi Sumber Daya Alam dan Pengendalian Kerusakan Lingkungan, Penataan Lingkungan, Komunikasi Lingkungan dan Pembangunan Masyarakat, serta Pembinaan Sarana Teknis dan Peningkatan Kapasitas. Mantan Menteri Negara LH Sonny Keraf menyatakan, penanganan limbah B3 memang membutuhkan keseriusan dan terfokus. Pasalnya, keberadaannya membahayakan lingkungan dan masyarakat bila tidak segera ditangani. Sonny mengungkapkan, semasa menjabat sebagai menteri, ia mengetahui adanya lobi-lobi gencar dari Taiwan disertai iming-iming sejumlah dana kepada pemerintah daerah, syaratnya bersedia mengolah limbah B3 dari negaranya. "Singapura, setahu saya, saat itu masih kamuflase," kata dia. Meskipun mendukung pemantauan, Sonny mengaku tidak tahu apakah keberadaan institusi pengawas limbah B3 harus setingkat deputi atau direktur saja. Selain persoalan limbah B3 yang diekspor, keberadaan limbah B3 di Indonesia juga berasal dari aktivitas industri dalam negeri, di antaranya industri kimia, pupuk, plastik, batu baterai, penyamakan kulit, minyak, dan rumah sakit. Sementara itu, di tengah makin banyaknya limbah B3 yang dihasilkan, hingga kini baru terdapat satu Pusat Pengolahan Limbah Indonesia (PPLI) di Cileungsi, Bogor, Jawa Barat. Sonny mengungkapkan, sudah waktunya pemerintah membangun lagi sarana pengolahan limbah seperti PPLI, misalnya ditempatkan di salah satu wilayah Indonesia timur. "Memang butuh dana besar, tetapi itu perlu juga," kata dia. Selain itu, pengawasan ketat di lapangan mengenai limbah B3 diharapkan terwujud. Pengawasan ketat juga diarahkan kepada para petugas agar tidak terseret dalam "permainan". Usulan baru Selain mempersiapkan struktur baru kedeputian, Kementerian Negara LH juga tengah mengusulkan adanya dua kantor di bawahnya di dua daerah, yakni Balikpapan dan Semarang. Adapun fungsinya untuk mengembangkan komunikasi pusat dan daerah serta kantor regional yang berbasis ekosistem yang dapat memberi bantuan teknis kepada daerah. "Tanggung jawabnya bisa diatur agar tidak bergesekan dengan dinas provinsi dan kabupaten/kota," kata Arief. Tiga lembaga serupa telah berdiri di Pekanbaru, Makassar, dan Denpasar. (GSA) Post Date : 25 Februari 2005 |