Denda bagi Pembuang Sampah

Sumber:Kompas - 15 November 2013
Kategori:Sampah Jakarta
JAKARTA, KOMPAS —  Pemerintah Provinsi DKI Jakarta akan menjatuhkan denda bagi pembuang sampah sembarangan. Pada tahap awal, aturan berlaku di kawasan yang memiliki sarana pengelolaan sampah. Langkah ini untuk mengurangi ancaman banjir karena saluran air tersumbat sampah.

Nilai denda bagi perseorangan paling besar Rp 500.000, sementara bagi badan usaha atau pengelola kawasan paling besar Rp 50 juta. Sanksi tersebut sesuai dengan ketentuan Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2013 tentang Pengelolaan Sampah.

”Pemberlakuan sanksi ini dengan melibatkan aparat kelurahan, kecamatan, dan satuan polisi pamong praja. Mereka yang menjadi petugas terdepan penegakan ketentuan ini,” kata Kepala Dinas Kebersihan Unu Nurdin, Kamis (14/11), seusai rapat membahas persoalan sampah dan banjir di Jakarta.

Contoh wilayah yang akan menjadi obyek pemberlakuan ketentuan itu di Cijantung, Jakarta Timur. Kawasan itu sudah cukup memiliki sarana pembuangan sampah, tempat sampah, dan alat angkut sampah. ”Jika setelah diingatkan tetap tidak ada perubahan, sanksi denda akan diberlakukan langsung,” kata Unu Nurdin.

Sejalan dengan rencana itu, Pemprov DKI melengkapi sarana pengelolaan sampah. Ada ribuan tempat sampah yang akan disebar di seluruh Jakarta. Pemprov DKI juga meremajakan kendaraan pengangkut sampah ke tempat pembuangan akhir. Namun, pemerintah hanya memfokuskan penambahan sarana pengelolaan di permukiman menengah ke bawah. Sementara kawasan bisnis dan permukiman menengah atas didorong mengelola sampah secara mandiri.

Menanggapi rencana itu, Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama berharap denda tersebut memberi efek jera kepada warga. ”Kami ingin menggerakkan lurah dan petugas di lapangan terlebih dahulu. Mereka harus keliling melihat saluran air yang tersumbat,” kata Basuki.

Setiap hari di Jakarta terdapat 416 ton sampah yang menyesaki sungai, danau, waduk, dan situ. Dari seluruh sampah itu, sebanyak 180-220 ton per hari terangkut ke tempat pembuangan, sisanya tetap di tempat.

Cari formula terbaik

Sejarawan dari Komunitas Bambu JJ Rizal mengatakan, penanganan sampah di Jakarta dari tahun ke tahun belum menemukan bentuk idealnya. Pada 1960-an, ketika Jakarta dipimpin Gubernur Soemarno Sosroatmodjo, persoalan sampah sudah mulai diatasi.

Gubernur berlatar belakang dokter ini mewajibkan orang memungut sampah pada jam-jam tertentu. ”Secara ekstrem dia menerapkan itu dengan membunyikan sirene. Memang berhasil menggerakkan orang, tetapi ada ekses lain yang terjadi, yaitu menurunnya produktivitas kerja pegawai,” kata Rizal.

Begitupun pada era Gubernur Ali Sadikin (1966-1977). Kampanye kebersihan dilakukan dengan membuat gerakan Menjakartakan orang Jakarta. Melalui gerakan itu, Ali mendamprat setiap orang yang kedapatan membuang sampah di jalan. Setelah era Ali, gerakan kampanye kebersihan menghilang.

Tantangannya adalah membangun kebiasaan agar warga tidak membuang sampah di kali. Sebagian besar masyarakat masih menganggap saluran air sebagai tempat sampah yang bisa dimanfaatkan. Jika Pemprov DKI Jakarta ingin memberlakukan sanksi bagi pembuang sampah, sebaiknya melengkapi sarana tempat pembuangan sampah.

”Jokowi sudah punya modal sosial yang besar, tinggal menggerakkan birokrasi dan warganya lalu melengkapi sarana pengelolaan sampah,” kata Rizal.

Sementara itu, di Kota Tangerang, beragam jenis sampah memenuhi Kali Angke di ruas Jalan Hasyim Ashari, Pedurenan, di sekitar Perumahan Ciledug Indah I. Sampah berupa kayu, lempengan aluminium, besi, plastik, dan perabotan rumah tangga yang sudah rusak memenuhi kali sehingga menghambat aliran air di kali tersebut.

”Setiap kali ada luapan air dalam volume yang besar, pasti banyak sampah nyangkut di kolong jembatan,” kata Rizal, petugas kebersihan Kota Tangerang.

Ia bersama petugas dari bagian Sungai Dinas Pekerjaan Umum Kota Tangerang mengangkat sampah dari kali.

Menurut Rizal, sebelum mendatangi Perumahan Ciledug Indah I, mereka terlebih dulu membersihkan sampah di aliran Kali Angke, tepatnya di Rawa Bokor, Kota Tangerang.

”Sampah dalam aliran sungai di Rawa Bokor lebih banyak. Satu truk penuh. Kalau di sini (Ciledug Indah) hanya setengah truk,” kata Rizal. Tidak hanya musim hujan, setiap hari mereka berkeliling mengambil sampah di aliran sungai di Kota Tangerang.

”Memang kalau banjir (air sungai meluap) pasti (volume) sampah meningkat. Kerja bisa sampai malam,” kata Rizal.(PIN/NDY)

Post Date : 15 November 2013