Gawat, Jakarta Masih Darurat Air Bersih

Sumber:rmol.co - 30 April 2014
Kategori:Air Minum
RMOL. Ibukota darurat air bersih. Untuk mencukupi sekitar 10 juta penduduknya, dibutuhkan setidaknya 31 ribu meter kubik per detik. Kenyataannya, kini ketersediaan air di Jakarta hanya mencapai 18 ribu meter kubik per detik.

Fakta itu disampaikan Direktur Utama Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Jaya Sri Kaderi Widjajanto. Menurutnya, ini lantaran potensi air baku di 13 sungai besar dan 70 sungai kecil di ibukota hanya mencapai 15 ribu kubik per kapita per tahun. Sehingga layanan air bersih perpipaan di Jakarta belum bisa mencapai 100 persen.

“Memang tidak mudah mengolah potensi air baku yang ada. Di Jakarta saja, kita masih sangat sulit mendapatkan air baku untuk air minum. Bahkan saat ini baru sekitar 60 persen warga Jakarta yang airnya terlayani oleh perpipaan,” ujar Sri.

Selebihnya, lanjut Sri, warga yang mendapatkan akses air bersih non perpipaan seperti stasiun air atau kios air, hidran air, sekitar 16 persen. Sisanya sebanyak 24 persen warga Jakarta masih memanfaatkan air dalam tanah.

Namun, ia mengklaim, pihaknya terus berupaya meningkatkan layanan air bersih dengan perpipaan. Salah satu langkah yang diambil, yakni dengan membangun instalansi pengolahan air (IPA) di Bekasi. Selain itu, bersama dua BUMD dan BUMN akan dibangun instalasi untuk mengolah air Ciliwung menjadi air bersih.

“Kami menargetkan setidaknya pada 2018 mendatang layanan perpipaan bisa mencapai 87 persen. Kemungkinan besar instalasi untuk mengolah air baku di sungai Ciliwung akan dibangun di kawasan Lenteng Agung atau di Condet. Kita akan bangun reservoir di sepanjang sungai Ciliwung,” ungkapnya.

Selain itu, lanjut Sri, untuk memenuhi kebutuhan air di Jakarta, juga akan dibangun instalasi pengolahan air di Pejaten dan Pesanggarahan bersama Palyja.

Juga adanya instalasi pengolahan air mobile yang mengolah air dari Waduk Pluit untuk didistribusikan ke rumah susun Pluit.

Kondisi ini jelas membuat  warga ibukota khawatir. Padahal, Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta telah memberikan tanggung jawab pengelolaan air bersih kepada dua operator, yaitu PT PAM Lyonnaise Jaya (Palyja) dan PT Air Aetra Jakarta (Aetra).

Tak heran, hingga kini masih banyak warga DKI yang masih kekurangan air bersih. Seperti yang dialami warga di Kecamatan Cengkareng, setiap pagi bahkan siang hingga sore hari menjelang Maghrib, pasti air PAM tidak mengalir. Hal itu jelas sangat menyulitkan warga.

“Susah kalau mau cuci baju atau masak, pasti sebelumnya malam hari sekitar jam 10 malam hingga dini hari kebanyakan warga menampung air untuk pagi hari. Memang nyala airnya cuma sekitar jam segitu. Makanya, nggak sedikit pula warga yang menggunakan mesin pompa untuk air tanah, meski kualitasnya berbeda,” ujar Nimun, salah satu warga.

Hal ini juga dirasakan warga Jakarta Utara. Ratusan warga di Kelurahan Marunda, Cilincing, juga mengalami kekurangan pasokan air bersih. Kebanyakan dari mereka memenuhi kebutuhan sehari-hari dengan melakukan tandon air hujan dan membeli air dengan gerobak. Sehingga warga harus mengeluarkan dana lebih setiap hari untuk membeli air bersih.

“Rata-rata sehari warga disini mengeluarkan uang antara Rp 20 hingga 25 ribu untuk membeli air bersih. Memang selama ini di wilayah kami air sering tidak mengalir. Warga sudah mengeluhkan hal tersebut kepada pihak Aetra agar volume air di wilayah Marunda ditambah, tapi nyatanya tidak dapat respons,” keluh Imron, warga Cilincing.

Pada saat kunjungan di Instalasi Pengelolaan Air (IPA) I Pejompongan, Corporate Communications and Social Responsibilities Division Head of Palyja, Meyritha Maryanie menuturkan, kebutuhan air baku Palyja bergantung pada Waduk Jatiluhur milik Perum Jasa Tirta (PJT) II.

“Karena itu, jika ada gangguan dari stasiun pompa yang mengalirkan air baku menuju Instalasi Pengolahan Air (IPA) milik Palyja, maka distribusi air bersih kepada para pelanggan Palyja akan terganggu,” terangnya.

Menurutnya, pemilik baru Palyja harus mampu membangun sumber pasokan air baku di ibu kota. Dengan demikian, pasokan air baku tak lagi bergantung pada Waduk Jatiluhur. Sehingga jika pasokan air baku di Waduk Jatiluhur terganggu, pelayanan air bersih tetap berjalan melalui pasokan air baku dari dalam Jakarta.

"Kami minta pemilik baru Palyja dapat menghidupkan kembali pasokan air baku seperti di Pejaten Timur dan Cilandak, agar pasokan air bakunya bertambah," ujar Meyritha.

Seperti diketahui, Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo (Jokowi) dan Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) telah menunjuk dua BUMD untuk mengambil alih saham kepemilikan Palyja.

Jokowi Mesti Perbanyak Bangun Sumur Resapan

Minimnya stok air baku, salah satunya sebagai dampak Operasi Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC). Seperti diketahui, sebelumnya TMC dilakukan sebagai salah satu upaya mengurangi intensitas hujan guna mencegah banjir di ibu kota.

Sayangnya, rekayasa yang dilakukan Pemprov DKI Jakarta dengan menggandeng Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) serta Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) ini tak hanya dinilai kurang efektif.

Sebab, selain dinilai bukan merupakan proyek jangka panjang mengatasi banjir, rekasaya cuaca ini juga dapat merugikan beberapa daerah sekitar Jakarta yang kekurangan air tanah.

"Ini kan cuma dilakukan waktu darurat, puncak musim hujan saja. Modifikasi cuaca membuang air ke laut, tapi sebenarnya kita butuh air. Wilayah-wilayah di sekitar Jakarta juga memerlukan air untuk berbagai hal. Saat musim hujan, air hujan seharusnya dibiarkan agar meresap ke tanah, untuk kebutuhan air bersih," kata pengamat perkotaan Yayat Supriyatna.

Menurut Yayat, sebaiknya Pemprov DKI lebih berupaya memperbaiki kerusakan lingkungan daripada memodifikasi cuaca. Biaya modifikasi cuaca sebesar Rp 28 miliar yang dikeluarkan Pemprov DKI sebaiknya digunakan untuk membuat sumur-sumur resapan sebagai penampung air hujan.

Untuk sekarang, lanjutnya, tidak mengapa karena opsinya hanya itu dan dilakukan mendadak. Tetapi sesudah musim kemarau, harus dibuat anggaran sebesar itu mungkin untuk memperbanyak sumur resapan, jadi air hujan bisa diserap maksimal.

“Jadi tidak perlu modifikasi cuaca. Ibaratnya kita sudah gagal merawat lingkungan, kita seperti mematikan keran airnya. Jadi urusan Tuhan diutak-atik oleh manusia. Uang ini jangan sampai mubazir. Cukuplah ini tahun terakhir buat rekayasa cuaca," tandas Yayat.


Post Date : 30 April 2014