|
Mastikah (38), warga Desa Mijen, Kecamatan Mijen, Kabupaten Demak, Jawa Tengah, duduk melamun di depan emperan toko, Rabu (10/4). Sesekali tangannya menyeka keringat Farid (6), anaknya yang tertidur pulas beralas tikar bersama pengungsi lain. Dia harus menjaga Farid yang tidak bisa tidur semalaman karena Suripto (38), suaminya, sibuk membantu mengevakuasi warga. Suripto yang bekerja sebagai buruh cangkul sawah itu adalah ketua rukun tetangga di desanya. ”Kami belum mendapat bantuan makanan. Pagi tadi baru mendapat roti. Mau masak tidak bisa karena beras 1 kilogram (kg) kami pun hanyut terbawa banjir,” kata Mastikah. Meski hanya 1 kg, beras itu sangat berarti bagi Mastikah. Beras itu sangat dibutuhkan ketika mereka berada dalam pengungsian. Suaminya membeli beras seharga Rp 6.500 per kg itu dari hasil mencangkul dengan upah Rp 20.000 per hari. Tak jauh dari mereka, Masripah (45) tengah menunggu suaminya yang sedang menyelamatkan dua karung gabah kering panen yang masih tersimpan di rumah. Gabah siap jual itu juga sangat berarti bagi Masripah dan keluarganya. Tanpa gabah itu, dia tidak dapat makan atau mendapatkan uang. ”Tidak hanya rumah dan harta benda yang terendam air, benih padi yang baru saya tanam juga pasti rusak dan harus diganti. Padahal, modal untuk menanam padi itu Rp 2,5 juta,” kata Masripah, petani pemilik sawah seluas 1.300 meter persegi itu. Sungai Wulan Banjir akibat luapan Sungai Wulan menjadi langganan warga yang tinggal tak jauh dari tanggul sungai yang membatasi Kabupaten Demak dan Kudus. Selasa (9/4) sekitar pukul 20.30, tanggul Sungai Wulan di Desa Mijen jebol sepanjang 50 meter. Jalan Raya Jepara-Demak melalui Kecamatan Mijen putus karena tergenang banjir sedalam 1 meter dan sepanjang 500 meter. Banjir juga menggenangi persawahan dan permukiman warga di empat desa sehingga 2.174 warga mengungsi, termasuk Mastikah dan Masripah. Banjir Sungai Wulan adalah dampak dari banjir Sungai Lusi dan Serang di Kabupaten Grobogan, Jateng, yang berhulu di Pegunungan Kendeng Utara dan Pegunungan Grobogan bagian selatan. Balai Pengelola Sumber Daya Air Serang Lusi Juwana (BPSDA Seluna) mencatat, pada Rabu pagi, debit air sungai itu mencapai titik tertinggi, 1.000 liter per detik. Pertahanan terakhir warga yang tinggal tak jauh dari daerah aliran sungai itu adalah tanggul. Di Sungai Wulan, tanggul memanjang dari Kecamatan Undaan, Kudus, hingga hulu sungai di Kabupaten Jepara. Tanggul itu posisinya lebih tinggi, sekitar 5 meter, ketimbang jalan desa dan permukiman sehingga membentengi desa di sekitarnya dari banjir. Ketika air Sungai Wulan mencapai titik maksimal dengan debit 1.000 liter per detik dan tanggul jebol, persawahan dan permukiman warga pasti kebanjiran. Anggota Dewan Sumber Daya Air Jateng, Kaspono, mengutarakan, Sungai Lusi, Serang, dan Wulan di satu sisi memberikan penghidupan bagi warga sekitar. Dari air sungai itu kebutuhan air persawahan warga tercukupi. Namun, di sisi lain, sungai itu menjadi ancaman karena kerap menyebabkan banjir. Untuk mengatasinya, selain penghijauan di hulu, pemerintah juga harus mempunyai proyek besar berupa normalisasi sungai dan penguatan tanggul. Hal itu penting karena daerah aliran sungai itu terdapat persawahan yang menopang lumbung pangan Jateng dan permukiman warga. ”Tanpa itu, petani dan warga setempat akan selalu menjadi korban banjir,” katanya. Bersama sapi Nun jauh dari lokasi pengungsian Mastikah dan warga lain di Demak, Julasih (68), warga Sumbangtimun, Kecamatan Trucuk, Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur, pun mengalami nasib sama. Selasa, matanya menerawang dengan tatapan kosong. Ia tetap memakai caping (topi dari anyaman bambu)-nya meski berselonjor di bawah tenda. Ia harus berbagi tempat dengan anak, menantu, dan cucunya, juga sapi yang ikut diungsikan. Tinggal satu tenda dengan sapi sudah lazim bagi warga setiap kali Bengawan Solo meluap. Sapi menjadi aset berharga mereka. Sesekali Julasih bercanda dengan cucunya, Riska (3). Di tenda itu ada juga anaknya, Atmi, dan suaminya, Trimo, serta dua cucunya yang lain. Selang tiga tenda dari tempat Julasih dan keluarganya, Joyo Supadi (72) tepekur. Tangannya memeluk lutut, memandang langit yang mendung, sambil sesekali mengisap rokok linting. Naiknya air Bengawan Solo kali ini berlangsung cepat sehingga membuat warga kelabakan. Perkampungan mereka terendam luapan sungai itu hingga sedalam 1,5 meter. Setiap Bengawan Solo meluap, wilayah tersebut yang lebih awal terdampak. Warga juga masih waswas. Meski air bertahap surut, sewaktu-waktu bisa naik lagi. Mereka mengungsi di dekat jalan poros Kecamatan Trucuk-Malo. Sebelum mengungsi, mereka terlebih dulu mengungsikan sapi-sapi mereka. Bagi sebagian warga Bojonegoro, sapi seperti nyawa mereka. Tak mengherankan jika mereka rela tinggal satu tenda bersama sapi. ”Ini aset dan harta kami,” begitu kata Trimo. Genangan di tempat tinggalnya sudah mencapai 1 meter lebih. Ia memelihara enam sapi, termasuk anakan. Jika air menggenang dan membahayakan ternak, warga membawa dulu ternak mereka ke dataran lebih tinggi. Biasanya warga Sumbangtimun membawanya ke wilayah dekat tanaman jati di tepi jalan poros kecamatan. Mereka langsung mendirikan tenda. Sebagai penghangat, biasanya warga membakar jerami atau membuat perapian di sekitar tenda pengungsian. Asapnya pun tentu bisa terhirup bocah-bocah yang dibawa mengungsi. Keluarga Kuncoro (51) membawa serta tabung elpiji dan kompornya yang paling tidak bisa dipakai untuk merebus air atau membuat kopi dan mi instan. Ia juga menyiapkan lampu tempel untuk penerang. ”Nyamuknya juga banyak. Namun, mau bagaimana lagi, rumah sudah terendam,” tuturnya. Bukan hanya warga Sumbangtimun yang mengungsi bersama ternaknya. Warga Ngablak, Kecamatan Kalitidu, Bojonegoro, pun mendirikan tenda di tanggul yang juga menjadi pembatas dengan Desa Ngulanan, Kecamatan Dander. Sebagian warga Ngulanan, Kecamatan Dander, juga mendirikan tenda di tanggul di jalan raya Bojonegoro-Padangan. Sementara di Desa Leran, Sukoharjo, Kecamatan Kalitidu, sebagian warga mendirikan tenda di pinggir rel kereta api untuk sapi dan kambing mereka. Ngadi (43), warga Ngablak, menuturkan, saat mengungsikan ternak, ia harus menerobos genangan air sambil menggendong pedet (anakan sapi) yang baru dilahirkan Senin lalu. Padahal, jarak antara rumah dan tenda pengungsian sekitar 1 km. ”Kalau tak begitu, ya, bisa mati,” tuturnya. Sukiman (62), warga Ngablak lainnya, terpaksa mengungsikan tiga sapinya ke tanggul. Air di sekitar rumahnya mencapai 1 meter. ”Barang-barang kami naikkan ke para-para. Tinggal mengungsikan sapi. Pakannya dibawa ke sini memakai perahu,” tuturnya. Banjir menyulitkan warga untuk mencari pakan ternak. Kadang mereka harus naik perahu mencari jerami di tempat lain yang tidak terendam. Mereka tak ingin ternaknya kekurangan pangan saat mengungsi walau mereka kekurangan makanan. Saat air mulai surut, tinggi genangan tidak sampai 50 sentimeter, warga mulai menuntun dan menggiring sapi kembali ke kandang. Pemerintah Kabupaten Bojonegoro mendirikan dapur umum dan menyiapkan posko pengungsian di sejumlah titik. Selain itu juga didirikan tenda pengungsian, seperti di Sukoharjo, Leran, dan Ngulanan. Perahu karet juga disiapkan untuk mengevakuasi warga, khususnya warga yang hamil, orang lanjut usia, dan anak-anak. HENDRIYO WIDI dan ADI SUCIPTO KISSWARA Post Date : 11 April 2013 |