|
"Pengelolaan air tidak dapat diberikan kepada swasta yang meletakkan keuntungan sebagai tujuan pertama" Pengelolaan sumber daya air dan lingkungan di Indonesia senantiasa dihadapkan pada ancaman keserakahan pemerintah. Ini menjadi semacam babak penghancuran pada era reformasi terlebih setelah pemerintah menerbitkan Perpu Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan atas UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Berdasarkan regulasi tersebut, pemerintah mempunyai dasar hukum untuk membabat dan menyulap hutan lindung menjadi kawasan pertambangan. Masyarakat yang mengalami kekeringan, secara tidak langsung menjadi korban dari legitimasi yang dilakukan pemerintah untuk menguras sumber daya alam. Permasalahan seputar air yang kerap terjadi pada musim kemarau menjadi persoalan klise dari tahun ke tahun. Padahal hak setara terhadap air merupakan hak asasi tiap individu yang dijamin oleh Pasal 33 Ayat 2 UUD 1945. Ini artinya negara menjamin dan menyelenggarakan penyediaan air yang dapat diakses masyarakat. Realitasnya, hak atas air bagi tiap individu terancam dengan adanya fenomena privatisasi dan komersialisasi. Salah satu wujud lain dari privatisasi adalah berubahnya fungsi PDAM, dari otoritas publik yang bertanggung jawab atas penyediaan air bersih untuk rakyat dengan harga murah, berubah menjadi berorentasi perolehan laba besar. Salah satu contoh adalah privatisasi air di Polanharjo Kabupaten Klaten oleh perusahaan swasta pengelola air bersih sejak 2002. Padahal, mayoritas warga di sekitar sumber air itu bekerja pada sektor pertanian. Kini mereka harus menyewa pompa untuk irigasi, termasuk membeli air untuk kebutuhan sehari-hari. Ini ironis mengingat kabupaten itu memiliki lebih dari 150 mata air. Diperkirakan eksploitasi air yang dilakukan perusahaan swasta yang bergerak dalam bidang pengadaan air bersih itu mencapai 40 juta liter/ bulan (data Balai Pengelolaan Pertambangan dan Energi/ BPPE). Dengan estimasi harga jual Rp 80 miliar/ bulan, nilai eksploitasi air itu mencapai Rp 960 miliar/ tahun. Padahal perusahaan swasta tersebut membayar retribusi hanya Rp 1,2 miliar dan membayar pajak sekitar Rp 3 juta-Rp 4 juta/ tahun. Karena perusahaan itu belum memiliki amdal, semestinya hanya diizinkan menyedot air 20 liter/detik tapi faktanya menyedot hingga 64 liter/detik (http://www.eramuslim.com). Pada 19 Februari 2004, DPR mengesahkan UU tentang Sumber Daya Air. Beberapa pasal dalam UU Nomor 7 Tahun 2004 tersebut memberi peluang privatisasi sektor penyediaan air minum, dan penguasaan sumber air (air tanah, air permukaan, dan sebagian badan sungai) oleh badan usaha dan individu. Melalui privatisasi, jaminan pelayanan hak dasar bagi rakyat ditentukan oleh swasta dengan mekanisme pasar “siapa ingin membeli atau siapa ingin menjual”. Seluruh biaya pengelolaan, perawatan jaringan dan sumber air lain bergantung pada pemakai dalam bentuk tarif. Tidak mengherankan jika terjadi monopoli air dan pelayanan hanya pada tempat yang menguntungkan. Mempersulit Akses Mengacu pada fakta itu ditambah masih buruknya manajemen PDAM, saat ini diperlukannya peran serta swasta dalam upaya privatisasi air. Sayang, privatisasi yang dilakukan swasta justru makin mempersulit akses masyarakat ekonomi menengah ke bawah dan petani untuk memperoleh air bersih. Mendasarkan realitas itu, peran pengelolaan air tak dapat diberikan kepada swasta yang meletakkan keuntungan sebagai tujuan pertama. Pemerintah perlu mengembalikan ‘’tambang’’ air di hutan. Penyosialisasian gerakan itu bisa dilakukan melalui program pendidikan anak usia dini cinta lingkungan, dan pelibatan tokoh nonformal untuk memediasi konservasi. Upaya lain, yakni memberikan penghargaan kepada kelompok/ individu pecinta hutan. Terkait privatisasi, untuk melindungi hak masyarakat (konsumen) terhadap kualitas pelayanan dan tarif, pemerintah perlu menetapkan batasan dan acuan pengawasan guna menghindari penyimpangan pihak swasta, sekaligus jaminan kualitas pelayanan kepada masyarakat. Post Date : 15 Agustus 2013 |