|
Tujuh tahun lalu, sampah di Rukun Warga 011, Kelurahan Cibangkong, Kecamatan Batununggal, Kota Bandung, Jawa Barat, dibiarkan teronggok. Kondisi itu sempat melengkapi julukan Kota Bandung sebagai lautan sampah. Berkat kreativitas warga, sampah dikelola menjadi gas pengganti minyak tanah. Berdiam hanya 5 meter dari tempat pembuangan sampah (TPS), Wiwi (46), pedagang bakso di RW 011, tidak pernah cemas setiap muncul isu kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM). Dua tahun terakhir ini, ia menggunakan bahan bakar gas (BBG) dari sampah yang jauh lebih murah dan tidak menyisakan aroma menyengat hidung. ”Hanya Rp 20.000 per bulan. Lebih murah ketimbang elpiji, antara Rp 40.000 dan Rp 50.000 per bulan,” katanya, Sabtu (6/4). Wiwi adalah warga yang beruntung mendapatkan BBG dari pengolahan sampah di RW 011. Alat pengolah sampah milik TPS RW 011 mampu menghasilkan 50 kilogram BBG per hari. Karena keterbatasan alat, hanya lima rumah yang mendapatkan keistimewaan itu. Namun, manfaat sampah domestik yang dibuang 9.000 warga RW 011 per hari tidak berhenti sampai di situ. Puluhan warga lain juga ikut merasakan manfaatnya. Menyusuri gang sempit berliku, sekitar 200 meter dari TPS, tujuh ibu duduk di depan rumah kontrakan salah seorang warga. Para anggota Masyarakat Sadar Lingkungan (”my darling”) RW 011 itu tengah melipat, menganyam, dan menjahit kemasan minuman plastik menjadi dompet. Bahan plastik bekas itu mayoritas diambil dari TPS RW 011. Keterampilan Anggota ”my darling”, Supartinah (30), mengatakan, peminat kerajinan terus bertambah setiap tahun sehingga mampu memberikan penghasilan bagi anggotanya. Dimulai pertama kali tiga tahun lalu, 15 anggota ”my darling” harus membagi rata pendapatan Rp 800.000 per tahun. Saat ini, setiap anggota meraup untung Rp 500.000 per orang per tahun. ”Uangnya untuk bayar kontrak rumah. Ada anggota lain yang menggunakan uangnya untuk biaya anaknya kuliah,” katanya. Hanya berjarak selemparan batu, 18 ibu rumah tangga duduk berdesakan di rumah salah seorang warga, membuat tas dari kantong plastik. Tergabung dalam kelompok Sekolah Ibu (SI), tas buatan tangan itu laku dijual ke Bali dan Jambi. Harganya Rp 70.000-Rp 80.000 per buah. Sekali lagi, sebagian besar kantong plastik diambil dari TPS RW 011. Nani Yuningsih (49), anggota SI, mengatakan baru sebulan membuat tas. Namun, ia sudah bisa membuat empat tas yang semuanya sudah laku dijual. Ia kini bisa menabung lagi setelah pensiun beberapa waktu lalu. Dari penjualan setiap tas, ia menyisihkan Rp 50.000. Sisanya, digabung dengan uang pensiun Rp 130.000 per bulan, digunakan untuk biaya sehari-hari. ”Sekarang pesanan semakin banyak. Rencananya, setiap minggu bisa buat 4-5 tas kantong plastik,” katanya. Bagi Nani, pembuatan tas dari sampah plastik menjadi pintu bagi dirinya dan anggota SI lainnya belajar banyak hal baru. Diasuh guru sukarelawan, seperti dokter, analis keuangan, dan pengusaha katering, anggota SI mahir membuat mi, bakso, dan sosis. ”Sekarang saya jadi orang pertama yang bisa memandikan jenazah di sekitar tempat tinggal,” kata perempuan yang pensiun dini dari dinas TNI ini. Wajah TPS RW 011 berubah sejak tiga tahun lalu. Penuh sesak dengan tumpukan sampah setinggi 4 meter, kini TPS berganti menjadi ruang lega untuk alat pengolahan dan daur ulang sampah. Metode pemilahan sampah membuat ruangan TPS seluas 150 meter persegi itu jauh lebih lega dan bersih. ”Dulu tempatnya sempit karena sampah, dan tidak ada yang betah berada dekat TPS akibat bau dan panas,” kata Tonton Paryono (40), pengangkut sampah sekaligus pengelola TPS RW 011. Ide pembenahan pemilahan itu lahir saat Tonton dan istrinya, Dewi Kusmianti (38), prihatin dengan kondisi TPS RW 011 yang semrawut. Mereka lantas menggagas ide. Bekalnya adalah ilmu yang didapat Dewi saat bekerja menjadi petugas kebersihan di lembaga pro-lingkungan Kota Bandung. Di tempat kerjanya itu, Dewi sering membaca dan melihat hasil rapat yang belum dihapus. ”Saya tertarik memilah sampah. Hasilnya dijadikan kerajinan dan bahan bakar,” ujarnya. Niatnya tidak selalu berjalan mulus. Ajakan Dewi untuk memilah sampah disambut dengan cacian dari beberapa warga. Tonton dan Dewi sering dianggap kurang waras. ”Kalau cuma sumpah serapah dan cacian, saya sudah kebal,” kata Tonton. Inspirasi Mereka lantas mengubah strategi. Sampah anorganik dan organik warga dibeli dengan biaya sendiri. Penghasilan Rp 400.000 per bulan disisihkan hingga 50 persen untuk membeli sampah. Mereka juga menjadi ”polisi sampah”. Wilayah pengawasan mereka adalah bantaran Sungai Cikapundung, mencegah warga membuang sampah ke sungai. ”Awalnya memang berat dan penuh air mata. Namun, yang terpenting adalah munculnya kepedulian warga. Saat ini, di RW 011 sudah terbentuk kelompok sadar sampah dan lingkungan, yaitu ’my darling’ dan SI,” kata Dewi. Kemandirian itu mendapatkan perhatian. Banyak pihak memberikan bantuan, mulai mesin penggilingan sampah, pembuatan kompos padat dan cair, hingga alat pembuat gas. Beberapa unit pengolahan sampah Kota Bandung di Sekelimus, Cipadung, dan PD Kebersihan hingga Bali serta Jambi juga terinspirasi menerapkannya. ”Kami juga diundang berbagi pengalaman di Jambi, Bali, dan rencananya Kalimantan Tengah,” ujar Dewi yang berprofesi sebagai tukang ojek. Wakil Wali Kota Bandung Ayi Vivananda, yang sempat berkunjung ke Cibangkong, berjanji mengadopsi langkah warga ini di seluruh TPS di Bandung. Saat ini, ada 164 TPS di Kota Bandung. Bila hal itu bisa dilakukan, Ayi yakin volume pengangkutan sampah bisa dikurangi 1.000 ton dari total volume 1.500-1.700 ton per hari. Ayi seperti berharap semangat warganya bisa mempertahankan julukan ”heroik” bagi ibu kota Jabar ini sebagai ”Bandung Lautan Api”. Ia dan warga lain tak rela kota itu menyandang julukan lautan sampah hanya karena ketidaktahuan tentang manfaat sampah. Cornelius Helmy Post Date : 22 April 2013 |