|
Sumiyah (32), warga Muara Baru RT 001 RW 017, Penjaringan, Jakarta Utara, sibuk menghitung uang tersisa di dompetnya, Minggu (10/2). Dia baru saja membayar air pikulan Rp 15.000. ”Setiap hari saya beli air Rp 15.000 buat berlima. Air ini saya beli dari pedagang air pikulan,” kata Sumiyah. Ibu tiga anak ini mengaku harus pandai mengatur keuangan rumah tangga. Suaminya hanya bekerja sebagai buruh serabutan di Pelabuhan Muara Baru, sedangkan Sumiyah membuka warung rokok di tepi Jalan Muara Baru Raya. Apa yang dialami Sumiyah sungguh sebuah ironi. Jakarta yang pengelolaan air minum sudah diusahakan oleh PDAM Jaya bekerja sama dengan swasta, ternyata juga belum bisa memberikan layanan kepada seluruh warga Ibu Kota. Hingga kini dua perusahaan swasta yang mengelola air di Jakarta baru melayani 60 persen rumah tangga Jakarta. Tingkat kebocoran juga masih tinggi. PT PAM Lyonnaise Jaya (Palyja) baru berhasil menurunkan kebocoran dari 59,4 persen tahun 1999, menjadi 37,9 persen akhir tahun 2012. Sementara Aetra Air Jakarta lebih parah lagi, dari kebocoran 58,27 persen tahun 1998, dan masih 45,49 persen akhir tahun 2012. Harga air yang dijual juga sangat mahal. Tarif rata-rata kedua operator swasta itu sebesar Rp 6.000-Rp 7.000 per meter kubik. Padahal harga air baku dari Jasa Tirta II tidak sampai Rp 300 per meter kubik. Lalu ditambah biaya pengolahan, sekitar Rp 700 per meter kubik. Adapun air bersih dibeli Palyja dari Tangerang hanya sekitar Rp 2.500 per kubik. Kesehatan PDAM Jika di Jakarta air sangat mahal, PDAM-PDAM di daerah justru menjual airnya dengan harga yang sangat murah. Di Sibolga, Sumatera Utara, air hanya dijual dengan harga Rp 600 per kubik. Sementara harga air baku Rp 2.000 per kubik. Akibatnya, PDAM tidak bisa memberikan layanan yang optimal. Dari tahun ke tahun layanannya semakin buruk. Jangankan mengembangkan layanannya, memperbaiki fasilitas yang rusak, PDAM juga tidak punya uang. Menurut catatan Badan Pendukung Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum (BPPSPAM) Direktorat Jenderal Cipta Karya Kementerian Pekerjaan Umum, jumlah PDAM di Indonesia sampai tahun 2011 mencapai 391 perusahaan. Dari jumlah itu, sebanyak 335 PDAM telah dinilai kinerjanya oleh BPPSPAM. Hasilnya, dari 335 PDAM yang telah dinilai, hanya 144 PDAM yang dinilai sehat. Sehat di sini artinya bisa membiayai kebutuhannya sendiri. Stempel sehat itu diberikan berdasarkan aspek keuangan, operasi, pelayanan, dan sumber daya manusia. Dari beberapa kenyataan di atas, seperti kebocoran air yang masih tinggi, tarif yang tidak wajar (baik kemahalan maupun terlalu murah), dan kurang dari separuh PDAM yang sehat, bisa disimpulkan manajemen pengelolaan pengusahaan air minum masih amburadul. Salah satu kunci untuk memperbaiki manajemen ini adalah menetapkan tarif yang wajar. Namun pemerintah daerah tidak berani menaikkan tarif karena takut diprotes rakyat. Protes itu dapat mengancam mereka tidak akan terpilih lagi pada lima tahun berikut. Padahal dengan tarif yang rendah, konsekuensi yang harus ditanggung perusahaan akan sangat besar. Gaji yang rendah akan membuat loyalitas dan rasa memiliki karyawan terhadap perusahaan akan sangat rendah. Mereka akan berbuat curang untuk mendapatkan tambahan penghasilan. Kementerian PU telah mencoba untuk membantu menyehatkan PDAM-PDAM sakit dengan cara restrukturisasi. PDAM akan dianalisa untuk mencari penyakitnya, menghitung tarif yang wajar, dan membantu mengobati agar PDAM bisa mencari modal untuk mengembangkan usaha. PDAM yang direstrukturisasi akan mendapatkan pinjaman lunak untuk pengembangan. Pemerintah telah menyediakan dana Rp 4,5 triliun. Namun tawaran restrukturisasi itu ternyata belum banyak mendapat tanggapan. Dari 173 PDAM yang ditawarkan program restrukturisasi, hanya 68 PDAM yang bersedia menerima program restrukturisasi itu. Pinjaman yang sudah dialirkan juga baru Rp 200 miliar. Restrukturisasi yang ditawarkan Kementerian PU ini merupakan bagian dari upaya mencapai target Tujuan Pembangunan Milenium yang menetapkan layanan air minum layak harus mencapai 68 persen rumah tangga pada tahun 2015. Apabila mengikuti data Badan Pusat Statistik (BPS), pencapaian layanan air minum layak bagi rumah tangga terus menurun. Tahun 2009 layanan telah mencapai 47,71 persen, tahun 2010 turun menjadi 44,19 persen, dan tahun 2011 turun lagi menjadi 42,76 persen. Angka BPS ini dibantah Budi Yuwono. Menurut dia, Ditjen Cipta Karya telah melakukan program Penyediaan Air Minum dan Sanitasi Berbasis Masyarakat (Pamsimas) yang tidak dihitung oleh BPS. ”Jika program pedesaan dihitung, maka tahun 2010 layanan air minum telah mencapai 53,25 persen, dan 55 persen di tahun 2011,” jelas dia. Kini, target Tujuan Pembangunan Milenium tinggal dua tahun lagi. Masih banyak pekerjaan untuk mencapai 68 persen rumah tangga. Peran pemerintah daerah untuk meningkatkan kinerja PDAM sangat diharapkan. Pemimpin daerah harus menjadi negarawan yang memikirkan air untuk generasi, bukan untuk kepentingan lima tahun.(M Clara Wresti) Post Date : 05 Maret 2013 |