|
Krisis air bersih memaksa si miskin bertahan hidup dengan segala cara. Mereka belum mendapatkan hak untuk memenuhi kebutuhan dasarnya. Subsidi yang seharusnya mereka terima hanya omong kosong. Mereka masih memakai air asin dari sumur dangkal. Anomali hidup inilah yang sedang terjadi di ibu kota Jakarta, seperti yang dihadapi John Daiman (62), nelayan Kampung Muara Baru, Kelurahan Penjaringan, Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara. Dia biasa mandi dan mencuci menggunakan air asin. ”Penghasilan saya tidak menentu. Menggunakan air asin ini cukup membantu menekan pengeluaran,” kata John yang mengontrak di sekitar Waduk Pluit. Adapun untuk kebutuhan minum dan memasak, John membeli air dari hidran (tandon air) dengan harga yang mencekik. Saat stok air bersih di hidran cukup, harganya Rp 1.500 per jeriken isi 20 liter. Namun, saat pasokan terganggu, harganya melambung menjadi Rp 5.000 per jeriken, seperti yang terjadi saat Jakarta dilanda banjir hebat pada 18 Januari lalu. John adalah satu dari ribuan warga Muara Baru yang belum mendapatkan pelayanan air bersih. Warga setempat tak memiliki banyak pilihan sebab kondisi air tanah setempat payau. Seperti yang dilakukan John, mereka nekat memanfaatkan air asin untuk bertahan hidup. Warga harus membeli air bersih dari pengusaha hidran dengan tarif semaunya. Akibatnya, harga air bersih di wilayah itu lebih mahal daripada harga air bersih yang dibayar warga di kawasan elite Menteng, Jakarta Pusat, yang dipasok PD PAM Jaya. Sebagai gambaran, warga Muara Baru membeli air bersih Rp 10.000 untuk 100 liter, sedangkan warga Menteng hanya mengeluarkan Rp 1.250 per 100 liter sesuai tarif PD PAM Jaya. Usaha resmi Pengusaha hidran menolak dianggap sebagai penentu tarif air bersih. Tarudin (39), pengusaha hidran di Muara Baru, mengatakan, naik turunnya tarif air bukan kemauannya, tetapi karena perubahan tarif. ”Jika stok air cukup, mungkin tarif tidak akan mahal,” katanya. Usahanya juga mendapat izin resmi dari PT PAM Lyonnaise Jaya (Palyja), operator yang melayani suplai air ke Muara Baru sejak tiga tahun lalu. PT Palyja menyatakan, operator sulit mengendalikan keberadaan pengusaha hidran. Berkali-kali mereka ditertibkan, tetapi mereka sering melawan. Mereka bukan sekadar ”orang biasa”, tetapi tokoh masyarakat sekitar. ”Jangankan kami, aparat saja mereka berani lawan,” kata Meyritha Maryanie, Corporate Communications and Social Responsibilities Head PT Palyja. Permainan harga oleh pemilik hidran bertentangan dengan semangat awal. Mereka awalnya diminta membantu memberikan pelayanan kepada warga yang tak terjangkau distribusi air bersih melalui pipa. Namun, kini, hal itu dimanfaatkan mereka untuk memainkan harga. Harga air bersih dari operator ke pengusaha hidran hanya Rp 1 per liter atau Rp 20 untuk per 20 liter air bersih sesuai dengan mekanisme tarif. Namun, tarif itu melambung karena pengusaha hidran menambah ongkos kirim atau saat terjadi kelangkaan stok. Meski mengaku tak mampu melawan pemilik hidran, PT Palyja tak bisa memutus kerja sama. Sejak 2009 hingga sekarang, mereka mencabut izin operasional 250 pemilik hidran nakal, tetapi masih ada 436 pemilik hidran di area PT Palyja. Makin berat Mau tidak mau, warga harus menghadapi situasi sulit. Kondisi itu semakin berat ketika terjadi banjir besar seperti pada 18 Januari, air baku tercemar minyak. Sementara pada 5 Februari 2013, pasokan air baku terganggu karena terjadi banjir di Kota Bekasi sehingga bendung dibuka dan air dialirkan ke laut. Dampaknya, pasokan air ke Jakarta berkurang tajam. Dalam kondisi itu, sebagian warga di Jakarta Utara tidak bisa berbuat banyak. Mina (46), warga Penjaringan, memanfaatkan air hujan untuk kebutuhan mandi, cuci, dan ke kamar kecil. Beberapa kali Mina mengalami peristiwa pahit itu selama tinggal di Penjaringan. Belum jelas sampai kapan ibu empat anak ini terbebas dari penderitaan karena krisis air bersih. Musim kering atau musim hujan sama saja. Mina tidak bisa mendapatkan haknya. Mina dan warga miskin di Jakarta harusnya mendapatkan subsidi silang konsumen. Subsidi diambil melalui 77,8 persen pendapatan pengelolaan air bersih dari konsumen kaya dan kalangan usaha. Namun, yang terjadi, Mina, John, dan warga miskin lain justru menanggung biaya air lebih besar dari keluarga kaya. Tak jelas ke mana larinya subsidi silang air. Saat kondisi ekonomi Mina dan John terjepit, mereka terancam tak mendapatkan air bersih. Negara yang harusnya menjamin hak mereka tak mengambil peran. Distribusi air bersih masih diserahkan ke mekanisme pasar. Andy R Hidayat dan Mukhamad Kurniawan Post Date : 20 Maret 2013 |