|
GORONTALO, KOMPAS - Alih fungsi ribuan hektar hutan yang masih produktif di Kabupaten Pohuwato, Provinsi Gorontalo, untuk perkebunan sawit dikhawatirkan akan menimbulkan banjir. Tahun ini, ada empat perusahaan sawit yang mulai beroperasi di Kabupaten Pohuwato. ”Sebelum hutan itu dialihfungsikan, banjir beberapa kali terjadi di Pohuwato saat musim hujan. Saya khawatir, setelah alih fungsi hutan menjadi perkebunan sawit bakal terjadi banjir yang lebih parah di Pohuwato,” ujar anggota Komisi III DPRD Kabupaten Pohuwato, Iwan Abay, Selasa (12/2), di Gorontalo. Keempat perusahaan itu adalah PT Inti Global Laksana, PT Banyan Tumbuh Lestari, PT Sawit Tiara Nusa, dan PT Sawindo Cemerlang. Izin dikeluarkan Bupati Pohuwato Zainuddin Hasan pada 2010 atau menjelang masa jabatannya berakhir di tahun itu. Total luas lahan 58.000 hektar. ”Hutan sudah seperti rumah kami. Bahkan, ada warga yang mencari penghasilan dari hutan, seperti madu. Kami pun khawatir akan timbul banjir setelah alih fungsi ini,” kata Aswin Ahmad, warga Desa Dudewulo, Kecamatan Popayato Barat, Pohuwato. Ketua Perkumpulan Jaring Advokasi Pengelolaan Sumber Daya Alam (Japesda) Gorontalo, sebuah organisasi nirlaba di bidang pelestarian lingkungan, Ahmad Bahsoan mengatakan, dari pengamatan Japesda, ada hutan pada kemiringan sekitar 40 derajat yang ditebang habis untuk dijadikan kebun sawit. Kondisi itu jelas rentan menimbulkan tanah longsor atau banjir. ”Pemerintah daerah kurang peka pada persoalan lingkungan dan hanya mengejar nilai ekonomi semata dari perkebunan sawit ini,” kata Ahmad. Bupati Pohuwato Syarif Mbuinga mengatakan, penerbitan izin alih fungsi untuk perkebunan sawit terjadi di masa bupati periode sebelumnya. Namun, terkait kekhawatiran warga akibat bencana alam yang mungkin timbul diantisipasi sedini mungkin. Pada awal Februari terjadi bentrokan antara warga dan pekerja perkebunan sawit. Warga yang menolak alih fungsi hutan menjadi perkebunan sawit memblokade jalan masuk menuju perkebunan. Beberapa orang terluka dalam bentrokan itu. 8 blok besar Gubernur Aceh Zaini Abdullah didesak untuk mencabut surat usulannya kepada Kementerian Kehutanan mengenai perubahan 8 blok besar hutan lindung di Aceh menjadi hutan produksi untuk ditebang sebagai sumber pemenuhan kayu. Blok hutan lindung itu diperkirakan seluas hampir 55.000 hektar. ”Kok hutan lindung dijadikan sumber pemenuhan kebutuhan kayu. Ini jelas usulan tak masuk akal,” kata Direktur Eksekutif Greenomics Indonesia Elfian Effendi dalam rilisnya yang diteri- ma Kompas, Senin. Surat Gubernur Aceh tertanggal 30 Oktober 2012 ditujukan kepada Menteri Kehutanan. Kedelapan blok hutan tersebar di Kabupa- ten Aceh Jaya, Nagan Raya, Aceh Barat Daya, dan Gayo Lues. Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Aceh Abubakar Karim mengakui, pengurangan kawasan hutan di Aceh dalam draf RTRW hanya seluas 29.000 hektar. Kawasan yang dikurangi meliputi hutan APL, hutan konservasi, hutan rakyat, maupun hutan lindung. (APO/HAN) Post Date : 13 Februari 2013 |