|
Jakarta, Kompas - Lima stasiun pompa pengendali banjir yang masing-masing berada di Jakarta Selatan (dua unit), Jakarta Pusat, Jakarta Barat, dan Jakarta Utara kini siap difungsikan kembali setelah proses rehabilitasi yang memakan waktu empat tahun terhitung sejak April 2000. Presiden Megawati Soekarnoputri meresmikan stasiun pompa itu hari Kamis (6/5). Menurut Pimpinan Proyek Induk Pengembangan Wilayah Sungai Ciliwung Cisadane (PIPWSCC) Wahyu Hartomo, pompa-pompa itu hanya sebagian dari seluruh sistem pengendali banjir di Jakarta. "Pengadaan pompa menjadi keharusan karena volume waduk tidak mungkin ditambah lagi," katanya. Empat stasiun pompa yang masing-masing ada di Setiabudi Timur, Setiabudi Barat, Waduk Melati, dan Waduk Tomang menjadi kewenangan Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah (Kimpraswil). Pembiayaan proyek meliputi pinjaman dari Protocol Loan Perancis sebesar 11,6 juta euro dan APBN Rp 32 miliar. Sementara itu, pembangunan sebuah stasiun pompa di Waduk Pluit menjadi kewenangan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dengan dana APBD DKI Jakarta senilai Rp 40,2 miliar. Empat stasiun pompa tersebut awalnya dibangun sekitar tahun 1976 dan baru direhabilitasi tahun 2000. Karena umurnya sudah terlalu tua, kapasitas pun menurun. Stasiun pompa di Setiabudi Timur, misalnya, kapasitas masing-masing pompa awalnya hanya tiga meter kubik per detik dari total tiga unit pompa. Setelah direhabilitasi, kapasitas meningkat menjadi 8,22 meter kubik per detik. Stasiun pompa ini dapat melingkupi daerah seluas 140 hektar. Stasiun pompa di Pluit mulai dikerjakan pada Oktober 2002 dan selesai Maret 2004 lalu. Pembangunan Stasiun Pompa Pluit III itu harus membongkar bangunan pintu air yang ada di sana. Sebelumnya, telah ada dua stasiun pompa di Pluit yang dibangun tahun 1967 dan 1978. Dalam sambutannya, seperti dikutip Antara, Megawati meminta agar tata ruang nasional diperhatikan hingga hal terkecil. "Jika tata ruang itu jadi, siapa pun yang meneruskan jalannya pemerintah, ia harus menaati apa yang dilakukan, dibuat, dan diputuskan secara bersama sehingga tidak amburadul seperti sekarang," katanya. Menurut Menteri Kimpraswil Soenarno, pembangunan proyek rehabilitasi drainase pompa di Jakarta belum menjamin Jakarta bebas banjir. Diperlukan langkah terpadu dan strategis untuk pengendalian banjir itu, salah satunya adalah dengan Banjir Kanal Timur (BKT). Secara terpisah, Pimpinan Proyek Pengendalian Banjir dan Pengamanan Pantai PIPWSCC Bambang Sutjipto Yuwono mengatakan, pihaknya juga merencanakan pembangunan Bendungan Ciawi untuk pengendalian banjir di Sungai Ciliwung. Namun, saat ini masih dalam tahap studi kelayakan. Bendungan ini terletak di Desa Gadog, Kecamatan Megamendung, Bogor. "Bendungan ini selain untuk mereduksi debit puncak banjir Sungai Ciliwung, juga menyediakan air baku untuk wilayah Bogor dan DKI Jakarta sebesar 5,22 meter kubik per detik," ujarnya. Hanya saja, bendungan itu membutuhkan pembebasan lahan seluas 204 hektar dengan ancar-ancar biaya Rp 129 miliar. Biaya konstruksi sendiri diperkirakan mencapai Rp 850 miliar. Tanah BKT Sementara itu, ratusan warga dari RW 03, 07, dan 08 Kelurahan Pulo Gebang, Jakarta Timur, meminta agar harga pembebasan lahan untuk BKT sesuai dengan nilai tanah saat ini. Pada prinsipnya, warga bersedia tanahnya dibebaskan. "Nilai jual objek pajak sebaiknya disesuaikan dengan nilai historis wilayah itu. Jika tanah di wilayah itu secara historis bernilai tinggi, ya jangan sampai dinilai rendah," kata Astri, seorang warga, saat sosialisasi BKT di Kantor Wali Kota Jakarta Timur. Dia sendiri tidak menjelaskan lebih lanjut mengenai nilai historis yang dimaksud. Karena terulurnya waktu pembebasan lahan, sejumlah warga bahkan mengira proyek BKT batal. "Kami bersedia jika tanah dibebaskan, tetapi kok mundur terus. Kalau memang benar untuk BKT, ya sudah, sebaiknya benar-benar dilakukan. Jangan sampai lalu diubah menjadi mal," kata seorang warga. (IVV) Post Date : 07 Mei 2004 |