|
MATAHARI hampir tepat di atas
kepala, Sabtu 3 Mei 2014. Menyengat demikian terik. Warga Dusun Pune’re
Desa Kaluku Kecamatan Batang, beraktifitas seperti biasa. Beberapa
asyik menjemur gabah di depan rumah. Beralas karpet plastik yang
memenggal separuh badan jalan yang memang sangat sepi. Sebagian warga
asyik menumbuk padi. Caranya sangat tradisional. Menumbuk gabah dengan
alu, lalu memisahkannya sedikit demi sedikit. Dusun Pune’re satu kilometer dari jalan poros provinsi Sulsel. Sekira 5 kilometer dari Bontosunggu, ibu kota Jeneponto. Kabupaten ini berjarak 100KM dari Makassar. Dari pinggir aspal jalan dusun, penulis mengamati Hawang Dg Bayang. Berjalan pelan menuruni pematang sawah. Menjauh dari penulis, mendekati sumur umum di tengah hamparan sawah. Mulut sumur berdiameter satu setengah meter ini sudah ditembok. Kedalaman lebih 6 meter. Jaraknya sekitar 350 meter dari pinggir jalan. Menjadi andalan hampir seluruh warga dusun memenuhi kebutuhan air. Hawang harus berjalan tertatih saat jeriken 20 liter terjunjung di atas kepalanya. Tidak selincah sebelumnya. Tangan kanan Hawang menenteng timba pribadi. Peluh bercucuran saat penulis coba menyapa setibanya di pinggir jalan. “Ero’mi niapa nak. Kammami anne tallasaka.” (Mau bilang apa lagi nak. Sudah beginilah kehidupan kami di sini). Hawang mengawali percakapan dengan terengah-engah. Mengaku sudah terbiasa, Hawang menolak halus saat penulis menawarkan membantu mengangkat jeriken cokelat itu. Sulit percaya, sudah 59 tahun, Hawang tidak terhalang pulang balik hampir tiga kali sehari untuk mengangkut air. Padahal, sekali pergi pulang, berjarak hampir 2 KM. *** Rumah Kepala Desa Kaluku, Syamsu J, berjarak sekitar 200 meter dari sumur itu. Syamsu tidak marah dibangunkan dari tidur siang. Apalagi setelah tahu penulis bertanya soal sanitasi buruk dan sulitnya akses air bersih di desanya. Syamsu menuturkan warga Pune’re lebih beruntung karena sudah punya sumur dan mata air. Sayangnya, sumur dan mata air tersebut tidak menjamin sanitasi warga berjalan baik. Sejumlah WC umum yang disediakan melalui fasilitasi sejumlah program pengadaan jamban umum, tidak maksimal. Menjadi rusak gara-gara jarang digunakan. “Karena air masih susah, warga merasa lebih mudah jika buang air besar di sawah,” terang Syamsu. Syamsu menuturkan apa yang dialami warga Pune’re belum seberapa. Tiga dusun lain yang berada di daerah ketinggian; Bontosua, Campagaloe,dan Gudanga, kondisinya jauh lebih parah. Di tiga dusun berdekatan itu, air seperti barang langka. Buang air besar sembarangan (BABS) menjadi lumrah. Pemerintah setempat bersama warga bukan tidak punya usaha agar warga bisa menikmati air bersih, Di Dusun Gudanga misalnya, warga pada tahun 2012 pernah mengupayakan sumur bor. Sayang tidak berhasil. Upaya terakhir empat bulan lalu, sempat mengebor hingga kedalaman 80 meter, tapi belum berbuah. Harus dihentikan akibat anggaran swadaya sudah habis. Padahal penggalian sudah berjalan 3 bulan. “Tanah bagian bawah terlapisi batu yang cukup keras. Kami sudah bermohon ke pemerintah agar ada tambahan anggaran untuk melanjutkan pengeboran namun belum ditanggapi,” terang Syamsu. *** Hari sudah mulai sore, saat Kepala Dusun Campagaloe, Jabbar, pulang dari sawah. Setelah membersihkan badan, pria yang sudah menjabat 8 tahun ini menjelaskan ada 400 warga di dusunnya yang merindukan air bersih dan sanitasi yang layak. Selama ini, warga memenuhi kebutuhan air bersih dengan beberapa cara. Ada yang berjalan kaki memotong pertengahan kebun dan sawah sejarak 2 kilometer untuk menjunjung air. Sebagian menyewa ojek air. Satu kali antar bayar Rp5 ribu untuk dua jeriken 20 liter air. Sesekali, ada mobil pengangkut air bersih yang menjual air Rp1000 untuk satu ember air. Tahun 2006, pernah dilakukan pengeboran air. Sampai menembus kedalaman 100 meter pengeboran dihentikan karena biaya dan peralatan. “Banyak yang bilang harus 150 meter baru bisa mendapatkan air bersih. Sekarang masalahnya, siapa yang mau membantu anggaran pengeboran sementara permohonan ke pemerintah belum pernah ditanggapi lagi,” kata Jabbar. Ada dua jamban umum untuk warga di dusun ini. Dibangun oleh donasi PLAN Project. Tapi saat penulis mendekatinya, bukan hanya bau kurang sedap menyeruak, jamban yang sudah dua tahun dididirikan dari donator swasta ini menjadi sia-sia karena tidak ada air. Tidak jauh berbeda dengan beton penampung air hujan yang berdiri di depan beberapa rumah warga. Kosong dan sesekali digunakan di saat musim hujan saja. Jabbar memastikan, jalan keluar terbaik yang dibutuhkan warga agar bisa menikmati air bersih lebih baik adalah adalah anggaran untuk mengebor hingga kedalaman 150 meter. *** Potret buruknya sanitasi dan sulitnya air bersih di Desa Kaluku, Kabupaten Jeneponto membenarkan data yang dilansir Indonesia Urban Water Sanitation and Hygiene (IUWASH). Kabupaten Jeneponto dengan luas wilayah 737,64 km2 dan berpenduduk sekitar 300 ribu jiwa butuh perhatian serius. Akses pemanfaatan sanitasi di daerah yang dijuluki "Butta Turatea" ini baru 56,45 persen dari total 87.500 kepala keluarga. Bupati Jeneponto Iksan Iskandar yang terpilih pada 2014, mengaku akan bekerja keras mendorong Jeneponto memenuhi target MGD’s 2015 yaitu 68,87 persen. Tingkat layanan air bersih di Jeneponto juga belum memadai. Baru m,enyentuh 66,13 persen atau di bawah target nasional 68,87 persen. Akses sanitasi maupun penyediaan air bersih ini turut mempengaruhi angka kesakitan masyarakat Jeneponto. Data Dinkes Jeneponto periode 2011 mencatat penyakit diare mencapai 6.711 kasus, cacingan 1.057 kasus, Dysentri 1.915 kasus, Typus/Kolera 2.794 kasus, ISPA 608 kasus, DBD 67 kasus, kasus Malaria Tropika 226 kasus dan beberapa penyakit lainnya. (Muhammad Yusuf Said) Post Date : 12 Mei 2014 |