Ngeri, Pasokan Air Bersih Jakarta Dicemari Amoniak

Sumber:rmol.co - 20 Maret 2013
Kategori:Air Minum
Sumber utama pasokan air bersih ke Jakarta hingga saat ini masih tergantung dari Waduk Jatiluhur, Jawa Barat. Jumlahnya mencapai 82 persen. Sayangnya, semakin lama kualitas air baku yang dipasok ke Jakarta semakin menurun karena tingkat amoniak-nya melebihi ambang batas.

Hal ini dinyatakan staf Ahli Hu­bungan Antar Lembaga PD PAM Jaya Wibisono Harisantoso. “Kua­litas air baku yang kita teri­ma semakin lama semakin buruk.

Akibatnya ongkos produksi juga meningkat. Belum lagi dalam perjalanannya ke Jakarta, air ini mengalami pencemaran karena banyaknya limbah, baik limbah rumah tangga maupun limbah pabrik,” ujarnya.

Dikatakan Wibisono, jika pada 2010 tingkat amoniak mencapai 2,9 miligram per liter, satu tahun berikutnya meningkat menjadi 4,8 miligram per liter. Meski begitu, dia meminta masyarakat tidak khawatir, karena dalam mem­produksi air bersih, pihak­nya mengaku menyesuaikan de­ngan baku mutu se­suai Kepu­tusan Menteri Kese­hatan.

“Air yang sampai ke ma­syarakat sudah sesuai aturan baku mutunya. Jadi sudah aman,” katanya meyakinkan.

Untuk menurunkan tingkat kandungan amo­niak, lanjut Wibi­sono, pihaknya juga ber­koor­dinasi dengan Badan Pe­nge­lola Ling­kungan Hidup Daerah (BPLHD) DKI Jakarta dan Jawa Barat serta pihak terkait untuk menertibkan pihak-pihak yang diduga mence­mari sungai.

 Dengan kondisi ini, pihaknya mendukung rencana Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Ja­karta membangun pipanisasi air baku dari Waduk Jatiluhur ke Jakarta. Dengan begitu, dapat mengurangi pencemaran air baku dalam perjalanannya ke Jakarta.

Selain itu, masih menurut Wibi­sono, langkah yang bisa diam­bil agar air baku di Jakarta ter­cukupi yakni dengan meman­faatkan 13 sungai yang mengalir di Jakarta.

Sayangnya, kualitas air di sungai itu tidak lebih baik dari air Waduk Jatiluhur. Ka­rena itu, pihaknya menya­rankan mem­bangun pengolahan air dengan sistem ultrafilterasi, yang mampu memproduksi air dengan harga kompetitif.

Terkait hal ini, pakar air dari Universitas Indonesia (UI) Firdaus Ali menilai, Kementerian Pekerjaan Umum (PU) telah lalai menjaga kualitas air baku Jakarta yang semakin hari semakin tercemar. Sumber air baku ke ibu­kota yang berasal dari Jati­luhur melalui Tarum Barat, menurutnya sudah tidak layak lagi digunakan sebagai air minum.

“Saya kecewa terhadap peme­rintah dalam menyediakan sum­ber air baku ini. Air baku yang sampai di Jakarta sudah dipenuhi limbah industri, limbah rumah tangga dan limbah irigasi berupa amoniak. Dimana peran peme­rintah menjaga kulitas sumber air baku ini?” cetusnya.

Menurut penelitian, sejak 1996 air baku yang digunakan sebagai air minum di Jakarta sudah 82,6 persen tercemar. Pemerintah, dalam hal ini Kementerian PU melalui Dirjen Sumber Daya Air sudah mengetahui kondisi kuali­tas air baku ini, namun tidak ada kemauan untuk memperbaikinya.

Jika pada 2010 tingkat amo­niak hanya sebatas 2,9 miligram perliter, satu tahun berikutnya, kandungannya meningkat hingga 4,8 miligram perliter. Padahal, ambang batas yang ditetapkan hanya 1 miligram perliter.

Firdaus mengungkapkan, kekeruhan air di Tarum Barat sudah melewati ambang batas, sehingga tak layak lagi digunakan sebagai sumber air baku. Air di Ta­rum Barat awalnya hanya di­peruntukkan bagi irigasi.

Permukiman Tepi Sungai Perburuk Kualitas Air

Air permukaan sebagai sumber air baku berjumlah paling besar dibanding mata air, air hujan, dan air tanah. Sayangnya, kualitas air permukaan saat ini makin buruk.

Pakar infrastruktur sungai Prof Djoko Mulyo Hartono meng­emukakan, permu­ki­man sepan­jang daerah aliran sungai, erosi, sedimentasi, bahan kimia, penye­baran penyakit serta ke­kurangan oksigen telah menjadi problem air di Jakarta. Akibatnya, terjadi penu­runan kualitas air permukaan.

Penurunan kualitas air permu­kaan ditandai dengan pening­katan kekeruhan, pembuangan dan penumpukan sampah, pen­dangkalan badan air, penyem­pitan badan saluran, serta penge­lolaan air permukaan yang belum terkoordinasi dan terintegrasi.

Di sisi lain, kata dia, pilihan teknologi pengolahan air minum  saat ini masih ter­golong kon­vensional. Bangunan instalasi pengolahan air minum yang digunakan didesain dan dibangun berdasarkan kualitas air baku pada 15-40 tahun lalu.

“Teknologinya hanya memper­timbangkan para­meter keke­ruhan,” jelas Guru Besar Bidang Ilmu Teknik Ling­kungan Fa­kultas Teknik Univer­sitas In­donesia (FTUI) ini.

Djoko mengatakan, tingkat kekeruhan air saat ini melampaui batas 1.000 NTU (Nephelometric Turbidity Unit). Pada musim hujan bisa 15.000 NTU. Namun, teknologi yang ada hanya mampu mengolah air dengan tingkat kekeruhan 5-1.000 NTU. Kadar maksimum untuk tingkat kekeruhan adalah 5 NTU.

Implikasi tingginya tingkat kekeruhan air baku, lanjutnya, adalah menambah unit bangunan pada instalasi pengolahan air untuk menurunkan kekeruhan. Ba­ngunan tambahan harus memiliki bangunan prasedimen­tasi, bangunan aerasi, dan unit pengolahan lumpur.


Post Date : 20 Maret 2013