|
Sumber utama pasokan air bersih ke Jakarta hingga saat ini masih
tergantung dari Waduk Jatiluhur, Jawa Barat. Jumlahnya mencapai 82
persen. Sayangnya, semakin lama kualitas air baku yang dipasok ke
Jakarta semakin menurun karena tingkat amoniak-nya melebihi ambang
batas. Hal ini dinyatakan staf Ahli Hubungan Antar Lembaga PD PAM Jaya Wibisono Harisantoso. “Kualitas air baku yang kita terima semakin lama semakin buruk. Akibatnya ongkos produksi juga meningkat. Belum lagi dalam perjalanannya ke Jakarta, air ini mengalami pencemaran karena banyaknya limbah, baik limbah rumah tangga maupun limbah pabrik,” ujarnya. Dikatakan Wibisono, jika pada 2010 tingkat amoniak mencapai 2,9 miligram per liter, satu tahun berikutnya meningkat menjadi 4,8 miligram per liter. Meski begitu, dia meminta masyarakat tidak khawatir, karena dalam memproduksi air bersih, pihaknya mengaku menyesuaikan dengan baku mutu sesuai Keputusan Menteri Kesehatan. “Air yang sampai ke masyarakat sudah sesuai aturan baku mutunya. Jadi sudah aman,” katanya meyakinkan. Untuk menurunkan tingkat kandungan amoniak, lanjut Wibisono, pihaknya juga berkoordinasi dengan Badan Pengelola Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) DKI Jakarta dan Jawa Barat serta pihak terkait untuk menertibkan pihak-pihak yang diduga mencemari sungai. Dengan kondisi ini, pihaknya mendukung rencana Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta membangun pipanisasi air baku dari Waduk Jatiluhur ke Jakarta. Dengan begitu, dapat mengurangi pencemaran air baku dalam perjalanannya ke Jakarta. Selain itu, masih menurut Wibisono, langkah yang bisa diambil agar air baku di Jakarta tercukupi yakni dengan memanfaatkan 13 sungai yang mengalir di Jakarta. Sayangnya, kualitas air di sungai itu tidak lebih baik dari air Waduk Jatiluhur. Karena itu, pihaknya menyarankan membangun pengolahan air dengan sistem ultrafilterasi, yang mampu memproduksi air dengan harga kompetitif. Terkait hal ini, pakar air dari Universitas Indonesia (UI) Firdaus Ali menilai, Kementerian Pekerjaan Umum (PU) telah lalai menjaga kualitas air baku Jakarta yang semakin hari semakin tercemar. Sumber air baku ke ibukota yang berasal dari Jatiluhur melalui Tarum Barat, menurutnya sudah tidak layak lagi digunakan sebagai air minum. “Saya kecewa terhadap pemerintah dalam menyediakan sumber air baku ini. Air baku yang sampai di Jakarta sudah dipenuhi limbah industri, limbah rumah tangga dan limbah irigasi berupa amoniak. Dimana peran pemerintah menjaga kulitas sumber air baku ini?” cetusnya. Menurut penelitian, sejak 1996 air baku yang digunakan sebagai air minum di Jakarta sudah 82,6 persen tercemar. Pemerintah, dalam hal ini Kementerian PU melalui Dirjen Sumber Daya Air sudah mengetahui kondisi kualitas air baku ini, namun tidak ada kemauan untuk memperbaikinya. Jika pada 2010 tingkat amoniak hanya sebatas 2,9 miligram perliter, satu tahun berikutnya, kandungannya meningkat hingga 4,8 miligram perliter. Padahal, ambang batas yang ditetapkan hanya 1 miligram perliter. Firdaus mengungkapkan, kekeruhan air di Tarum Barat sudah melewati ambang batas, sehingga tak layak lagi digunakan sebagai sumber air baku. Air di Tarum Barat awalnya hanya diperuntukkan bagi irigasi. Permukiman Tepi Sungai Perburuk Kualitas Air Air permukaan sebagai sumber air baku berjumlah paling besar dibanding mata air, air hujan, dan air tanah. Sayangnya, kualitas air permukaan saat ini makin buruk. Pakar infrastruktur sungai Prof Djoko Mulyo Hartono mengemukakan, permukiman sepanjang daerah aliran sungai, erosi, sedimentasi, bahan kimia, penyebaran penyakit serta kekurangan oksigen telah menjadi problem air di Jakarta. Akibatnya, terjadi penurunan kualitas air permukaan. Penurunan kualitas air permukaan ditandai dengan peningkatan kekeruhan, pembuangan dan penumpukan sampah, pendangkalan badan air, penyempitan badan saluran, serta pengelolaan air permukaan yang belum terkoordinasi dan terintegrasi. Di sisi lain, kata dia, pilihan teknologi pengolahan air minum saat ini masih tergolong konvensional. Bangunan instalasi pengolahan air minum yang digunakan didesain dan dibangun berdasarkan kualitas air baku pada 15-40 tahun lalu. “Teknologinya hanya mempertimbangkan parameter kekeruhan,” jelas Guru Besar Bidang Ilmu Teknik Lingkungan Fakultas Teknik Universitas Indonesia (FTUI) ini. Djoko mengatakan, tingkat kekeruhan air saat ini melampaui batas 1.000 NTU (Nephelometric Turbidity Unit). Pada musim hujan bisa 15.000 NTU. Namun, teknologi yang ada hanya mampu mengolah air dengan tingkat kekeruhan 5-1.000 NTU. Kadar maksimum untuk tingkat kekeruhan adalah 5 NTU. Implikasi tingginya tingkat kekeruhan air baku, lanjutnya, adalah menambah unit bangunan pada instalasi pengolahan air untuk menurunkan kekeruhan. Bangunan tambahan harus memiliki bangunan prasedimentasi, bangunan aerasi, dan unit pengolahan lumpur. Post Date : 20 Maret 2013 |