|
Seorang pemuda jalan tergopoh-gopoh memasuki ruang seminar di sebuah gedung di daerah Gondangdia, Jakarta, Sabtu (8/11/2014) siang.
Sekilas, pemuda bernama Edy Fajar Prasetyo tersebut tampak selayaknya anak muda usia kuliah lainnya. Hanya saja, kali ini dia tampil cukup rapi dengan mengenakan kemeja batik. Rupanya, Edy bergegas mengikuti pelatihan One InTwenty Movement di Jakarta.
Setelah beberapa saat berbincang dengannya, lantas baru terungkap bahwa Edy menyimpan keistimewaan tersendiri. Edy, mahasiswa agribisnis semester tujuh Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta tersebut, berhasil mengenalkan konsep ramah lingkungan pada masyarakat.
Edy telah mengajak ibu-ibu rumah tangga di sekitar Stasiun Sudimara berkreasi dengan limbah plastik. Edy mengenalkan konsep ramah lingkungan melalui produk E-bi Bag yang dirintisnya. E-bi, kependekan dari Eco-Business Indonesia, merupakan perusahaan penghasil barang-barang seperti tas, pin, dan gantungan kunci dari limbah plastik.
Alih-alih membiarkan ibu-ibu menambah tumpukan sampah, dia justru menyadarkan para ibu mengenai pentingnya mengolah sampah. "Alasan memulai bisnis ini berawal dari permasalahan. Di samping kampus banyak sampah, pedagang yang berderet di sekitar kampus menghasilkan berpuluh-puluh kilo sampah plastik. Kebetulan juga, saat itu kita ikut momentum kegiatan yang dibuat Bank Indonesia, bisnis berbasis lingkungan hidup," ujarnya.
Edy memulai bisnis tas dan aksesori dari limbah plastik pada 2013 lalu. Usaha ini dimulainya dengan modal sebesar kurang dari Rp 500.000. Ketika memulai, Edy mengaku tidak sendirian. Dia memulai usahanya tersebut bersama rekan sekampusnya, yaitu Andis, Alfi, Nadia, dann Imas, serta seorang ibu bernama Elly.
Ibu-ibu yang diajak kerja sama oleh E-bi Bag akan mendapatkan upah untuk setiap produk yang dihasilkannya. Proporsinya, tutur Edy, 30 persen dari harga produk untuk sang ibu dan 70 persen untuk E-bi Bag. Bagian untuk E-bi Bag digunakan untuk mengembangkan usaha.
Setiap tas dibanderol dengan harga Rp 50.000 sampai Rp 300.000. Edy mengungkapkan, rata-raya seorang ibu bisa menghasilkan tiga tas kecil per hari. Untuk tas besar, umumnya seorang ibu bisa menyelesaikannya dalam seminggu. Meski sudah menghasilkan keuntungan, tetapi Edy mengakui bahwa usahanya belum maksimal. Omzetnya per bulan hingga saat ini masih fluktuatif sekitar Rp 2 juta sampai Rp 3 juta. Itu pun tidak hanya datang dari produk buatan ibu-ibu rumah tangga yang diajaknya bekerja sama. Sebanyak 60 persen pemasukannya per bulan justru datang dari kegiatan pelatihan yang diadakannya. "Pemasukan kita tidak hanya dari produk, ada pelatihan edukasi hijau, wawasan lingkungan, dan praktik prakarya limbah," tutur Edy. Merasa belum maksimal, Edy pun memutuskan untuk ambil bagian dalam pelatihan One InTwenty Movement yang diadakan di Jakarta. Salah satu "bekal" yang dibawanya dalam pelatihan adalah berbagai kendala usahanya. Dia berharap kendala tersebut bisa diselesaikan. Di sisi lain, meski masih termasuk usaha kecil dengan modal minim dan keuntungan yang belum fantastis, tetapi visi Edy sudah jauh ke depan. Edy yakin bahwa dia siap menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN pada akhir 2015 mendatang. "Kalau tidak siap, kita akan digempur pasar dari luar. Tapi itu juga tantangan. Bentuk kesiapannya, kita ingin coba edukasi ke sekolah internasional. Bagi sekolah-sekolah internasional, ini unik," kata Edy. Post Date : 10 November 2014 |