“Bank Sampah Nemo Papua muncul dari selaras dengan
lingkungan hidup. Jadi kita juga membantu pemerintah dalam hal menyehatkan
lingkungan. kedua dengan sendirinya kami mengajar masyarakat untuk
memperlakukan sampah dengan baik. Artinya jangan membuang sampah sembarangan,
lebih baik sampah itu kita jadikan uang daripada di buang,” kata Direktur Bank
Sampah Nemo Papua, Abeth Katili kepada wartawan, di Jayapura, Selasa
(11/6).
Dia menjelaskan, jika ingin menjadi nasabah bank sampah, pertama yang harus
dilakukan adalah memberikan pas foto 4×6, foto copy identitas, membawa minimal
1 kg sampah, kemudian mengisi formulir nasabah. “Jadi sama saja seperti bank
lainnya, bedanya di bank lain nasabah datang membawa uang, namun di bank sampah
nasabah datang membawa sampah minilal 1 kg dengan begitu akan mendapat no
rekening dan uang,” tambahnya.
Saat ditanya berapa total uang yang akan didapat dari seorang nasabah, ujar
Dia, itu semua tergantung dari sampah yang dibawa, dimana untuk sampah botol
plastik dihargai Rp1000 per kilo dan plastik Rp1500 per kilo.
“Jadi kita pilah jenis sampah apa yang dibawa kemudian timbang. Tapi yang harus
diingat adalah nasabah bank sampah harus membawa sampah yang sudah bersih. Jadi
kita tidak terima sampah yang berlumpur dan kotor. Kita memang melatih nasabah
untuk memperlakukan sampah dengan benar mulai dari sampah rumah tangga, kalau
pelajar ya bagaimana dia habis minum jangan buang sembarangan, setelah dia
kumpul banyak bawalah ke bank sampah,” tukasnya.
Apa komentar pemerintah soal hadirnya bank sampah, kata Abeth, pihaknya baru
mulai, namun hal ini sudah diketahui pemerintah kota dan sangat ditanggapi positif.
Lanjutnya, saat ini Bank Sampah Nemo Papua telah memiliki unit cabang di SMK 3,
dimana disitu ada sekitar 1700 nasabah yang semuanya adalah pelajar sekolah
itu. “Jadi setiap siswa ada rekening tersendiri. Sementara untuk dana, pihaknya
masih menggunakan dana pribadi (independent),” tambahnya.
Sementara itu, Rudy Gedy, salah satu Kepala Bidang di BLH Kota Jayapura,
mengakui, masih banyak pola pikir terhadap sampah harus dibuang karena sudah
tidak mempunyai keuntungan jika disimpan, sehingga penanganan sampah
masih berprinsip ‘cost center’ karena sampah-sampah yang diproduksi setiap
harinya selalu dibuang ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA) membuat beban baru bagi
Pemerintah.
“Sudah saatnya pola pikir tersebut diubah dengan menerapkan prinsip ‘profit
center’, di mana masyarakat turut menyadari bahwa sampah masih bisa diolah
menjadi sesuatu yang berguna bahkan mendatangkan keuntungan, disini kita latih
bagaimana mereka bisa memilih dan memilah sampah yang bisa menguntungkan
dirinya kedepan,” ujar Gedy.
Post Date : 12 Juni 2013
|