|
BEBERAPA warga sontak berteriak saat menyaksikan seorang remaja mengayunkan sampah ke tengah Kali Cipinang di kawasan permukiman padat penduduk di RT 003 RW 012, Cipinang Besar Utara, Jakarta Timur, Senin (25/11). ”Woi, jangan buang sampah ke kali....” Karena malu, remaja yang biasa dipanggil Abi itu langsung beringsut ke gang kecil dengan membawa kembali plastik berisi sampah yang ditentengnya. Warga di kampung ini cukup kompak mengawasi sesama mereka agar tak membuang sampah di kali. Sederhana saja dasar pemikiran mereka. Tumpukan sampah yang ada di kali itu menyebabkan tumbuh suburnya nyamuk di lingkungan tempat tinggal mereka. Mereka tidak ingin sikap sembrono menyebabkan warga terjangkit penyakit. Sampah memang sudah menjadi masalah besar Jakarta. Setiap hari, jumlah timbunan sampah di ibu kota negara ini rata-rata 7.500 ton dengan asumsi jumlah warga Jakarta sebanyak 11 juta orang. Sampah yang terangkut ke tempat pembuangan sampah Bantargebang 5.800 ton sampai 6.000 ton per hari. Dinas Kebersihan DKI Jakarta mengklaim, sampah yang tak terangkut diolah warga setempat di sejumlah wilayah di Jakarta. Hanya pertanyaannya sekarang, mengapa tebaran dan timbunan sampah masih sangat mudah ditemukan di pinggir jalan, permukiman, selokan, dan sungai? Bahkan, tak sedikit tumpukan sampah ditemukan di aliran sungai, seperti di Kali Cipinang. Pelajaran sederhana dapat dipetik dari permukiman padat penduduk di Cipinang Besar Utara, tempat Abi dipergoki warga hendak membuang sampah ke Kali Cipinang. Mamat (42), salah seorang warga, mengungkapkan, tak ada kesepakatan resmi di antara mereka untuk tidak membuang sampah ke kali. Larangan bermula tanpa sengaja. Awalnya, menurut Mamat, sejak Kanal Timur difungsikan, Kali Cipinang di dekat rumahnya tak lagi dialiri air. Aliran Kali Cipinang di bagian hulu seluruhnya dialihkan ke Kanal Timur. Dampaknya, sampah yang mengalir di Kali Cipinang bagian hilir di Cipinang Besar Utara tersangkut di kelokan-kelokan sungai, salah satunya di kelokan dekat lingkungan RT 003 RW 011. Akibatnya, sungai itu penuh sampah. Dampak dari timbunan sampah itulah yang menyebabkan warga saling mengawasi satu sama lain agar tak membuang sampah ke kali. Upaya Untuk membersihkannya, warga di kampung itu lebih memilih merogoh kantong untuk membayar jasa tukang sampah. Satu kali angkut ongkosnya Rp 5.000. Upaya sederhana juga dilakukan Mujadi (32). Warga RT 011 RW 005 yang hanya berselang satu gang dengan RT 003 RW 012 ini rutin menaruh plastik besar untuk tempat sampah di gang rumahnya. Pekerja serabutan ini memperoleh plastik besar itu dari pemulung sampah, ”Kalau tidak ditaruh kantong seperti ini, anak-anak itu suka buang sampah sembarangan. Kalau ada kantong sampah ini kan jadi bisa menyuruh anak-anak itu buang sampah di tempatnya,” kata Mujadi. Menurut Saiful (35), salah satu warga yang giat di pengurus RT 003 RW 012, hampir setiap tahun warga meminta penampungan sampah di dekat tempat tinggal mereka. Namun, tak pernah ada realisasi. Pernah satu kali, kata Saiful, diusulkan penampungan sampah di kantor Kelurahan Cipinang Besar Utara. Namun, urung dilaksanakan karena rencana tersebut ditolak warga sekitar. Akibatnya, hingga saat ini, warga harus mengandalkan tukang sampah karena tempat penampungan sampah berada jauh, di Pasar Induk Kramatjati. ”Warga ini mau kok hidup bersih, tetapi mana tempat sampahnya,” kata Saiful. Pemandangan sebaliknya malah ditemukan di Jalan Soekanto, sejajar dengan Kanal Timur. Lima pasang tong sampah dipasang di pinggir jalan itu, padahal tak pernah ada pejalan kaki yang melintas. Sementara trotoar yang berada di seberangnya sama sekali tak dilengkapi tempat sampah. Deputi Gubernur DKI Jakarta Bidang Tata Ruang dan Lingkungan Hidup Sarwo Handayani mengatakan, permukiman merupakan sumber utama sampah di DKI. Sayangnya, di beberapa tempat, seperti di daerah aliran Sungai Ciliwung, ada 120 kawasan padat penduduk yang tidak memiliki tempat pembuangan sementara. Pemerintah, menurut dia, sedang mencari lahan dan alat untuk mengatasinya. (JOS/MDN) Post Date : 27 November 2013 |