|
MASYARAKAT Dusun Lada kini bergembira. Krisis air bersih yang melanda sejak turun-temurun berakhir sudah. Perubahan itu setidaknya sejak puncak kemarau setahun lalu berkat bantuan Bank Mandiri dan pembaca harian ”Kompas” melalui Yayasan Dana Kemanusiaan Kompas. Ternyata, proses awalnya menyimpan kisah menarik. Di kalangan warga setempat sempat terlintas niat untuk menolak paket bantuan itu. Apa pasal? Dusun Lada meliputi sejumlah anak kampung, seperti Kakang, Lada, dan Watu Toge, dengan jejeran perumahan yang bersambungan. Lada yang kini berpenduduk sekitar 1.000 orang itu merupakan satu dari tiga dusun di Desa Pong Ruan, Kecamatan Komba, Kabupaten Manggarai Timur, Nusa Tenggara Timur. Warga memang sempat pesimistis, bahkan berniat menolak paket sarana air bersih tersebut. Salah satu alasannya, mereka beranggapan sangat mustahil bisa mendapatkan air melalui dinding tebing yang ditentukan. Alasan lainnya, bergulirnya isu bahwa yang akan dialirkan adalah air bercampur limbah rumah tangga asal kampung di bagian hulunya. Sikap pesimistis sebagian masyarakat beralasan kuat karena lokasi yang ditentukan sebagai titik yang akan mengalirkan air sejak nenek moyang selalu tampak kering selama kemarau, bahkan di sekitarnya tidak pernah kelihatan tanda-tanda rembesan air tanah. Kebetulan titik lokasi itu merupakan bagian alur kali kecil yang hanya mengalirkan air selama musim hujan. Cukup seminggu setelah hujan berlalu, alur kali itu pun sudah mengering. Pemahaman itu sempat menguatkan niat kalangan warga untuk menolak paket bantuan sarana air bersih. Mereka mengatakan, alur kali kecil itu berhulu di sekitar kaki bukit yang puncaknya merupakan Kampung Mok. Air yang mengalir selama musim hujan diyakini sudah bercampur limbah rumah tangga buangan dari perkampungan tersebut. Apalagi, alur kali kecil itu bernama Wae Ta’i, yang berarti kali mengalirkan air bercampur tinja. Kepala Desa Pong Ruan, Sebas Ndaes, mengatakan, isu—air bersih bantuan Bank Mandiri dan pembaca Kompas melalui DKK bagi warga Dusun Lada akan mengalirkan wae ta’i (air bercampur tinja)—memang sempat menguat hingga memunculkan niat menolak bantuan itu. Semangat warga bergotong royong membantu pengerjaan proyek pun sempat kendur akibat isu tersebut. ”Sikap warga berubah setelah menyaksikan bahwa air yang dialirkan bersumber dari terowongan pada tebing yang digali secara manual, bukan air melalui Kali Wae Ta’i seperti yang mereka bayangkan,” katanya. Sarana air bersih bagi Dusun Lada secara resmi sudah diserahkan kepada masyarakat setempat pada Rabu (2/10). Penyerahan dilakukan Pemimpin Redaksi Kompas Rikard Bagun, disaksikan Wakil Bupati Manggarai Timur Andreas Agas, Ketua Yayasan DKK HM Nasir, Kepala Bank Mandiri Cabang Kupang Budi Setiawan, tim DKK, serta sejumlah tetua adat bersama Kepala Desa Pong Ruan Sebas Ndaes. Lada adalah satu dari empat lokasi sarana air bersih bantuan DKK dan Bank Mandiri. Tiga lainnya adalah Kampung Tuwa (Manggarai Barat), Tengkel Wuntun di Desa Ria (Ngada), serta Desa Teka Iku dan sekitarnya di Sikka. Keseluruh paket sudah diserahkan kepada masyarakat setempat pada 1-3 Oktober lalu. Terowongan Sesuai dengan survei awal tim DKK, bantuan sarana air bersih bagi warga Lada sebenarnya akan melontarkan air dari kedalaman alur Sungai Waekutung di sisi barat kampung. Rencana itu batal karena debit air yang bertahan hingga puncak kemarau tidak cukup berdaya melontarkan air sampai ketinggian 120 meter di hulu kampung. Kesimpulan tersebut tidak membuat tim DKK menyerah. Tim pimpinan M Nasir itu kemudian secara khusus mendatangkan Budi Haryanto (54). Berdasarkan penerawangan pawang air pegunungan asal Magelang (Jawa Tengah) ini, titik di pinggang tebing—lokasi sekarang— merupakan lokasi yang tepat untuk mengalirkan air. Meski awalnya sempat berbalut rasa ragu, tim DKK menuruti penerawangan Budi Haryanto, yang tak tamat sekolah dasar itu. Dengan dukungan masyarakat setempat dan dikerjakan secara manual, dinding tebing dibongkar hingga terbentuk dua terowongan. ”Sumber air berdebit cukup baru ditemukan setelah galian dua terowongan masing-masing mencapai kedalaman sekitar 12 meter secara horizontal,” kata Budi Haryanto, yang telah kembali ke Magelang, Selasa (8/10). Sumber air dari ujung terowongan kemudian dialirkan ke bak penampung khusus di sekitar alur Kali Wae Ta’i. Tampungan air itulah yang selanjutkan dialirkan secara gravitasi dan melalui pipa besi yang membentang di tepian jalan hingga 6 kilometer, hingga perkampungan Dusun Lada. ”Penyerahan sarana air bersih ini memang baru dilakukan Rabu (2/10) lalu, tetapi warga kami sebenarnya sudah menikmatinya sejak Juni tahun lalu. Kami sangat berterima kasih kepada Kompas dan Bank Mandiri karena atas bantuannya telah berhasil membebaskan warga Dusun Lada dari kesulitan air sejak nenek moyang,” tutur Fernandez Nanggo, tetua Lada. Budi Haryanto juga dipercayakan sebagai pelaksana pembangunan terowongan air sebagai sumber yang selanjutnya dialirkan bagi masyarakat Tuwa di Desa Goloronggot, Manggarai Barat. Sumber air di Tuwa merupakan tampungan dari tiga terowongan, yang juga dibangun secara manual. Ketiga terowongan itu juga melubangi dinding tebing, masing-masing sedalam 30-56 meter secara horizontal. Air tampungan dalam bak tandem kemudian dialirkan melalui jaringan pipa hingga bak elevasi. Dengan mengandalkan pompa hidram berteknologi ”air tolak air”, air selanjutnya dilontarkan melalui jaringan pipa hingga perkampungan yang berlokasi lebih tinggi dari bak elevasi tersebut. Proses pengaliran air bagi warga Tengkel Wuntun (Ngada) juga mengandalkan pompa hidram berteknologi sama. Tanpa dukungan terowongan seperti di dua lokasi sebelumnya, Sungai Alolain dibendung dan airnya dialirkan menuju bak elevasi. Selanjutnya, air dari bak elevasi dilontarkan melalui jaringan pipa hingga bak penampung di puncak menara. Dukungan menara (pada ketinggian sekitar 80 meter dari bak elevasi) diperlukan agar distribusi air secara gravitasi mampu menjangkau hingga keran di perkampungan tertinggi. Setelah air bersih mengucur melalui keran di sekitar rumah di kampung, masyarakat setempat praktis tidak lagi harus menempuh perjalanan jauh hingga menghabiskan waktu 3-5 jam hanya untuk mengambil air. Sebagai contoh, warga Tuwa, sejak lama—terutama selama kemarau—harus mengambil air di Waelongge, yang berarti harus menerobos jalan setapak hingga sejauh 4-5 km. Setidaknya sejak April lalu, perjuangan itu telah menjadi kisah masa lalu. Begitu pula warga Dusun Lada tidak lagi harus menerobos tanjakan tajam untuk mengambil air bersih di dasar alur Sungai Waekutung atau Sungai Waetuan. Alur kedua sungai itu seakan mengapit perkampungan Dusun Lada yang tumbuh memanjang di punggung bukit. Juga warga Tengkel Wuntun yang akhirnya terbebas dari perjuangan mengambil air hingga sejauh 4-6 km di Sungai Alolain atau sumber air lainnya. Seperti di Tuwa atau Lada, kegiatan mengambil air untuk kebutuhan keluarga di Tengkel Wuntun kini cukup membutuhkan waktu kurang dari 10 menit karena hanya mendatangi keran distribusi di sekitar rumah. Setelah air mengucur di sekitar rumah, kini Kompas melalui tim DKK bersama Bank Mandiri dan para pembaca Kompas menunggu dampak perubahannya. Yang ditunggu tentu saja agar air tidak hanya dimanfaatkan untuk kebutuhan di rumah. Dukungan ini diharapkan juga mendorong pengembangan usaha lain, setidaknya usaha sayuran di sekitar pekarangan rumah. Juga akan lebih banyak waktu yang bisa dimanfaatkan untuk kegiatan produktif lainnya. (FRANS SARONG) Post Date : 18 Oktober 2013 |