|
Kawasan komersil seperti hotel, apartemen, mal, dan lainnya diwajibkan mengolah sampahnya secara mandiri . Kebijakan ini dinilai meringankan Pemprov DKI Jakarta. Selain itu, bisa merangsang swasta berpartisipasi. Sri Bebassari, pengamat persampahan dari Indonesia Solid Waste Asosiation (INSWA), mengatakan regulasi ini sangat membantu pemprov, karena konsepnya buisness to buisness (B to B) sehingga tidak ada penggunaan APBD. “Melalui konsep ini mal, restoran, permukiman mewah diwajibkan urus sampah sendiri dan harus bayar retribusi ke DKI. Jadi ada subsidi silang, sampah kawasan permukiman menengah bawah ditangani pemerintah,” ujar Sri, Kamis (13/2). Adapun untuk mengakomodir sampah di kawasan komersil ini, sejumlah perusahaan jasa kebersihan membentuk organisasi yakni Asosiasi Jakarta Bersih (AJB) sebagai wadah. MURNI BISNIS Amir Sagala, pembina AJB, mengaku bahwa pihaknya hanya mewadahi delapan perusahaan yang bekerjasama untuk mengangkut sampah di kawasan komersil. Dalam pelaksanaannya, AJB murni bisnis yang hanya menawarkan jasa bagi pengelola gedung komersil untuk pengelolaan sampahnya. Julius Wibowo, Kepala Bagian Pengembangan dan Operasional AJB, menambahkan pihaknya menghitung biaya yang dibebankan ke konsumen berdasarkan operasional pengangkutan sampah, retribusi daerah, dan juga tipping fee ke Bantargebang. “Total biaya tipping fee dan retribusi saja mencapai 31 persen, sedangkan keuntungan kami hanya sekitar 15 persen,” ujarnya. Julius menjelaskan pemprov menetapkan biaya pengangkutan sampah B to B sebesar Rp500 ribu hingga Rp1 juta/ton. Angka ini masih lebih murah dibandingkan di Singapura dan Malaysia. Seperti diketahui, Perda Nomor 3/2013 tentang pengelolaan persampahan, mengamanatkan pengelolaan sampah mewajibkan kalangan ekonomi menengah ke atas dan kawasan Industri menangani sampah mereka sendiri. Pengumpulan sampah kawasan dan pengangkutannya menjadi kewajiban penanggung jawab kawasan dan dapat dikerjasamakan dengan badan usaha di bidang kebersihan.
Post Date : 14 Februari 2014 |