|
JAKARTA, KOMPAS.com — Pemerintah Provinsi DKI Jakarta masih kewalahan menangani sampah Ibu Kota. Manajemen pengangkutan dan pengolahan sampah belum terbangun dengan baik. Pada saat bersamaan, produksi sampah belum bisa ditekan sehingga sampah berserakan di ruang-ruang publik. Untuk mengatasi masalah itu, Pemprov DKI mengalokasikan anggaran Rp 1,3 triliun untuk dinas kebersihan. Sebagian besar dana itu dipakai untuk pengangkutan dan pengelolaan sampah di Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Bantargebang, Bekasi, Jawa Barat. Namun, tetap saja persoalan sampah di Jakarta tidak tertangani maksimal. Peneliti Jurusan Teknik Lingkungan Fakultas Teknik Universitas Indonesia, Firdaus Ali, menilai, penanganan sampah bukan terletak pada besarnya alokasi anggaran, melainkan pada konsep penanganan yang tepat. ”Penanganan sampah itu sangat terkait dengan masalah sosial. Sayangnya, partisipasi masyarakat minim, begitu pula dengan sumber daya manusia dan prasarana yang ada,” kata Firdaus, Senin (31/3), di Jakarta. Dinas Kebersihan DKI Jakarta mengklaim sampah di DKI Jakarta yang diangkut ke Bantargebang berkisar 6.000-6.500 ton per hari. Saat ini tersedia 801 truk, sebanyak 510 truk di antaranya tidak layak pakai. Sebelumnya, 67 persen pengangkutan sampah dilakukan perusahaan swasta. Namun, per 31 Desember 2013, kontrak kerja sama dengan 24 perusahaan pengangkut sampah dihentikan. Sejak itu, pengangkutan sampah dilakukan menggunakan truk DKI dan sewaan. Namun, jumlahnya tidak sebanding dengan produksi sampah, baik di permukiman maupun tempat umum lain. ”Ini bukti bahwa DKI sangat bergantung pada swasta. Ketika kerja sama berhenti, pemerintah gamang,” kata Firdaus. Di Lenteng Agung, Jakarta Selatan, tumpukan sampah menggunung hingga 2 meter. Kepala Suku Dinas Kebersihan Jakarta Selatan Zaenal Syarifudin mengakui, tumpukan sampah itu terjadi karena pihaknya kekurangan truk pengangkut. Di Jakarta Selatan saat ini baru tersedia 75 truk, sementara yang dibutuhkan 99 truk. Di Kelurahan Bungur, Jakarta Pusat, sisa sampah yang tidak terangkut truk tersimpan dalam 30 gerobak sampah. Rohini (54), petugas kebersihan setempat, mengatakan, sejak awal 2014, truk pengangkut sampah hanya datang pada pagi hari. Sebelumnya, truk itu datang sehari dua kali pada pagi dan sore. Solusi DKI Pemprov DKI Jakarta menempuh berbagai cara untuk mengatasi masalah sampah. Salah satunya menyerahkan penanganan sampah di pasar tradisional per 1 April kepada PD Pasar Jaya. Namun, Direktur Utama PD Pasar Jaya Djangga Lubis mengatakan, pengelolaan itu belum dapat dilaksanakan secara mandiri. PD Pasar Jaya masih butuh bantuan dinas kebersihan karena belum punya truk pengangkut sampah di 153 pasar. Menurut Wakil Kepala Dinas Kebersihan DKI Isnawa Adji, pembagian zona komersial itu akan disahkan melalui keputusan gubernur. ”Harapan kami ada keadilan karena pemerintah tidak lagi menangani sampah di area komersial, tetapi fokus di permukiman warga,” katanya. Sementara itu, pengolahan sampah di dalam kota terus dikerjakan. Di TPST Rawasari, Jakarta Pusat, pengolahan sampah tetap berjalan meski dana dari Pemprov DKI Jakarta belum turun. Ketua Umum Indonesia Solid Waste Association (InSWA) Sri Bebassari mengatakan, pengolahan sampah organik menjadi kompos dilakukan dengan dana penelitian dari InSWA. Hal itu karena dana dari Pemprov DKI Jakarta belum cair. Mengubah pola pikir Terkait dengan masalah sampah, pengamat tata kota dari Universitas Trisakti, Nirwono Joga, mendorong agar pemerintah tidak bergantung pada solusi teknis. Penyediaan truk dan perbaikan tempat pembuangan akhir belum cukup untuk mengurangi produksi sampah. Pola pikir pemerintah, masyarakat, dan pengusaha juga perlu diubah. ”Menyelesaikan persoalan sampah bukan hanya melalui solusi teknis. Pemerintah dan masyarakat juga perlu mengubah pola pikir mereka. Persoalan sampah harus diselesaikan di sumbernya. Dengan begitu, tidak akan ada lagi persoalan sampah menumpuk,” kata Nirwono. Masyarakat bisa mulai dengan memilah sampah organik dan non-organik di lingkungan rumah masing-masing. Sampah organik dikelola menjadi kompos, sedangkan sampah non-organik didaur ulang menjadi batako atau produk-produk lain yang bermanfaat. Gerakan seperti ini seharusnya didorong pemerintah. (A07/A14/A03/PIN/MDN/NDY/ART) Post Date : 01 April 2014 |