|
SUMBER -- Puluhan hektare tambak milik petani di Desa Rawaurip, Kecamatan Pangenan, Kabupaten Cirebon, diduga tercemar limbah Pabrik Gula (PG) Karangsuwung. Dampaknya, para petani tambak tidak bisa lagi menggunakan lahan tambaknya untuk budidaya udang maupun ikan bandeng. Berdasarkan pemantauan Republika di lapangan, Rabu (24/8), puluhan hektare tambak itu, terlihat dibiarkan kosong oleh pemiliknya. Bahkan tanah tambak tersebut terlihat pecah-pecah akibat lama tidak difungsikan. Namun, adapula beberapa lahan tambak yang dialihfungsikan menjadi tempat pembuatan garam. Di sisi lain, PG Karangsuwung ditengarai membuang limbahnya di Sungai Bangka. Padahal, para petambak itu mengambil air untuk budidaya ikan atau udang dari sungai tersebut. Menurut H Sukardi (55 tahun) salah seorang pemilik tambak, para petani tambak di desanya terbiasa memanfaatkan air dari Sungai Bangka dengan sistem isi-buang. Dalam sistem ini, kata dia, para petambak mengambil air untuk lahan tambak dari sungai dan membuang air dari lahan tembak ke sungai. ''Namun, karena air dari sungai tersebut telah tercemar limbah, para petambak akhirnya tidak berani lagi menggunakan air dari sungai tersebut dan memilih membiarkan lahannya kering,'' katanya menandaskan. Sukardi mengatakan, sebelum air sungai tercemar, ia bisa menanam satu juta benur (bibit udang) di lahan seluas lima hektare. Penanaman tersebut, lanjut dia, bisa dilakukan sebanyak tiga kali tanam dalam satu tahun dengan produksi rata-rata dua ton per hektare. Namun kini, ia hanya berani menanam benur sebanyak 100 ribu ekor di lahan seluas satu hektare. Penanaman pun, kata dia, hanya dilakukan sebanyak satu kali dalam setahun. ''Lahan tambak seluas satu hektare yang saya tanami itu, hanya bisa menghasilkan udang sebanyak 25 kg,'' katanya menandaskan. Saat dikonfirmasi mengenai hal tersebut, Kepala Bisang SDM dan Umum PG Rajawali, Gunadi, membantah adanya pencemaran limbah PG di Karangsuwung. Dia menegaskan, PG Karangsuwung tidak mungkin mencemari Sungai Bangka yang merupakan sumber air para petani tambak. ''PG di Karangsuwung telah dilengkapi dengan instalasi pengolahan air limbah (IPAL). Jadi tidak mungkin sungai tersebut tercemar limbah,'' ujarnya. Produksi turun Masih dari Cirebon, akibat hujan yang sering turun, produksi garam di daerah tersebut mengalami penurunan hingga sebesar 80 persen. Padahal seharusnya, kurun waktu antara Juli-Oktober merupakan masa-masa panen garam. Namun, karena musim hujan yang panjang, para petani garam justru tidak bisa memperoleh keuntungan yang optimal. Menurut Madrais, salah seorang petani garam, dalam cuaca yang mendukung, para petani garam bisa memperoleh satu ton garam per hektare. ''Namun kini, para petani hanya bisa memperoleh garam sebanyak dua kuintal per hektare,'' katanya kepada Republika, Rabu (24/8). Madrais mengaku, dalam masa tanam selama 20 hari, mengeluarkan modal sebesar Rp 1 juta per hektare. Bila cuaca mendukung proses penanaman, kata dia, bisa diperoleh 25 ton garam per bulan. ''Bila harga garam sedang tinggi Rp 250 per kg, maka bisa diperoleh keuntungan Rp 25 juta. Namun, saat harga sedang jatuh, hanya bisa diperoleh keuntungan sebesar Rp 5 juta,'' katanya. ( kie ) Post Date : 25 Agustus 2005 |