40 Persen Resapan Primer Tertutup Bangunan

Sumber:Kompas - 24 April 2009
Kategori:Air Minum

Sleman, Kompas - Sekitar 40 persen luas kawasan resapan primer di Sleman saat ini sudah tertutup bangunan. Ini melebihi ketentuan ketertutupan lahan di kawasan tersebut, yakni 20 persen. Hal itu berpotensi menyebabkan penurunan air tanah akibat kemampuan serap tanah yang berkurang.

Luas daerah resapan primer di Sleman mencapai 9.252 hektar (16 persen dari total wilayah) yang tersebar di Kecamatan Ngemplak, Ngaglik, Sleman, Tempel, Turi, Cangkringan, Kalasan, Pakem, dan Prambanan. "Saat ini, sekitar 40 persennya telah tertutup bangunan," kata Kepala Bidang Perencanaan Pedesaan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Sleman Dwi Anta Sudibya, ketika ditemui di kantornya, Kamis (23/4).

Dwi menuturkan, hal itu diakibatkan semakin pesatnya pembangunan fisik di kawasan itu, yang tidak diiringi dengan kesadaran masyarakat untuk mengurus perizinan bangunan. Padahal, Izin Mendirikan Bangunan (IMB) merupakan salah satu instrumen pokok untuk pengawasan pembangunan.

Dari IMB itu, setiap pembangunan fisik di kawasan resapan primer diharuskan mematuhi ketentuan koefisien dasar bangunan (KDB), yakni 30 : 70. Artinya, bangunan fisik hanya boleh menutupi 30 persen dari total luas lahan dan sisanya dibiarkan jadi lahan terbuka. "Akibat banyaknya bangunan yang tidak ber-IMB, penegakan ketentuan itu jadi susah dilakukan," ucap Dwi.

Hal tersebut semakin diperparah dengan ketiadaan sanksi bagi pelanggaran ketentuan itu dalam peraturan daerah tentang Rencana Tata Ruang Dan Wilayah (RTRW). Karena itu, Dwi mengatakan pihaknya sangat menunggu terbitnya Perda Rancangan Tata Ruang dan Wilayah yang saat ini masih digodok di provinsi.

Sanksi Hukum

Salah satu hal penting dalam rancangan Perda RTRW baru ini adalah memuat ketentuan sanksi hukum bagi pelanggar RTRW hingga tiga tahun penjara dan denda maksimal Rp 500 juta. "Sanksi itu diharapkan bisa membuat penegakan peraturan lebih efektif," ujar Dwi.

Dihubungi terpisah, Kepala Pusat Studi Lingkungan Hidup (PSLH) Universitas Gadjah Mada Eko Sugiharto mengatakan, kondisi itu sudah masuk pada kategori sangat mengkhawatirkan. Tertutupnya lahan resapan primer membuat kemampuan Sleman, sebagai daerah hulu DIY, untuk menyerap air hujan menurun.

Kondisi itu semakin diperburuk dengan rusaknya hutan dan maraknya aktivitas penambangan pasir di Sleman. "Ini akan sangat berdampak pada menurunnya cadangan air tanah di wilayah DIY selatan, seperti Bantul dan Yogyakarta," tutur Eko.

Eko mengatakan jika tidak ada tindakan cepat dan radikal yang dilakukan untuk mengatasi itu, DIY akan mengalami krisis air tanah dalam beberapa tahun mendatang. "Pasalnya, proses pembentukan air tanah memakan waktu tidak sebentar. Dampaknya memang tak akan terasa sekarang, tetapi pada 20-25 tahun lagi," ucapnya. (ENG)



Post Date : 24 April 2009