Surabaya baru saja berpesta pasca menerima penghargaan pengelolaan
lingkungan terbaik di Indonesia berupa Piala Adipura Kencana 2013. Ini menjadi
Piala Adipura ketujuh yang diraih Kota Pahlawan ini. Bangga?
Tentu
saja senang memiliki kota bersih, asri dan hijau dengan taman kota yang
apik. Eits tunggu dulu, jangan ‘menepuk dada’, meski demikian masih ada bau tak
sedap dan gunungan sampah di banyak sudut kota.
Ditilik
dari jumlah duit, dari tahun ke tahun anggaran pengelolaan sampah Surabaya
makin melangit. Pada 2013 ini kala usia Kota Pahlawan 720 tahun ini nilainya
mencapai Rp 32,6 miliar. Ironis memang, sebab dari sisi volume, warga Kota
Buaya ini tiap hari ‘menelurkan’ 8 ribu ton sampah. Ini membuktikan, bila
persoalan sampah masih ‘abadi’ di Surabaya.
Jika
satu orang menghasilkan 4 liter sampah per harinya, maka jumlah sampah di
Surabaya mencapai 12.000 meter kubik (sekitar 6.000 ton). Artinya diperlukan
truk pengangkut sebanyak 1.500 armada yang memiliki bak berukuran 8 meter kubik
tiap harinya untuk mengangkut.
Beberapa
terobosan memang mulai dilakukan meski dinilai masih ‘nanggung’. Saat ini,
misalnya, di Tempat Penampungan Akhir (TPA) Benowo sudah ada pengelolaan
sampah kota dengan anggaran tipping fee senilai Rp 57,1 miliar untuk PT Sumber
Organik (SO) sebagai pemenang lelang.
Sayangnya,
kabar terbaru pengelolaan sampah di Benowo masih baru sebatas penataan sampah
berupa teras siring, bukan diolah menjadi gas metan, pupuk organik dan listrik
seperti yang dijanjikan PT SO.
Tak
hanya itu, Surabaya juga membangun Super Depo Sutorejo seluas 1.400 meter
persegi. Proyek yang menelan biaya sekitar Rp 3 miliar itu mampu mengolah 20
ton sampah per hari. Sampah yang masuk harus melewati sejumlah tahapan sebelum
akhirnya berubah menjadi kompos dan bahan daur ulang lainnya.
Tahap
pertama yaitu konveyor pemilahan I dan II. Sampah yang dipilah dilewatkan
diatas konveyor berjalan layaknya yang ada di pabrik-pabrik. Di situ sudah
berjajar beberapa tenaga pemilah lengkap dengan masker dan sarung tangan.
Mereka bertugas memisahkan sampah organik dengan anorganik.
Selanjutnya
sampah yang bisa diproses menjadi kompos tetap berada di atas sabuk konveyor
berjalan. Konveyor tersebut berujung pada mesin pencacah sampah di bagian atas
gedung. Output yang dihasilkan berupa hasil cacahan sampah yang kemudian
diangkut ke rumah kompos keputih untuk diproses menjadi pupuk kompos.
Kesadaran
warga buang sampah di tempatnya juga masih minim. Memang ada kebijakan denda
hingga Rp 50 juta bagi untuk pembuang sampah sembarangan di Surabaya. Sayang,
belum pernah ada orang dihukum dengan aturan itu.
Berbeda
dengan di Singapura yang benar-benar menegakkan aturan tentang denda.
Untuk sampah, misalnya, warga yang membuang sampah sembarangan, bisa terkena
sanksi 300 dollar Singapura atau Rp 3 juta. Dalam dua tahun ke depan, Singapura
menargetkan 60 persen sampah di daur ulang. Saat ini mereka sudah
merealisasikan 57 persen sampah di daur ulang. Daur ulang di perumahan
rata-rata 60 persen. Untuk sekolah rata-rata sudah 100 persen.
Post Date : 17 Juni 2013
|