|
Meski privatisasi termasuk air tanah, air permukaan, air sungai, air
danau dan air laut akan menghasilkan keuntungan, namun bisa mengancam
kedaulatan negara dan menimbulkan ekses-ekses yang tak senilai dengan
keuntungan Peringatan Hari Air Sedunia (water’s day) yang jatuh pada 22 Maret dalam setiap tahun menjadi momentum untuk mengevaluasi kembali undang-undang dan pengelolaan air di negeri ini yang semakin jauh dari peran negara. Momentum tersebut dapat menjadi pengingat kepada semua pihak bahwa air sangat vital bagi kelangsungan hidup makhluk di bumi. Air tidak tergantikan (nonsubstitution good). Menurut FAO (2002), planet bumi diperkirakan memiliki sekitar 1.400 juta kilometer kubik air, namun hanya 35 juta kilometer kubik di antaranya yang tersedia dalam bentuk air tawar (freshwater). Meskipun demikian, sebagian besar dari air tawar tersebut tidak dapat diakses langsung karena terperangkap dalam bentuk bongkahan dan gunung-gunung es di kutub, gletser, dan air tanah dalam. Selain itu, air memiliki banyak fungsi dalam menyangga cairan tubuh. Setiap hari manusia membutuhkan kurang lebih 2 liter air putih serta 30 liter untuk sanitasi. Sekitar 70 persen tubuh terdiri dari air dan tidak seorang pun dapat bertahan hidup lebih dari 4-5 hari tanpa minum. Tak hanya itu, air juga untuk keperluan industri, pertanian, perikanan, pemadam kebakaran, tempat rekreasi, transportasi, dan lain-lain. Namun pada sisi lain, air bisa menjadi sumber ancaman yang serius bagi kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya. Kelangkaan serta kerusakan kualitas air yang terjadi karena degradasi lingkungan hidup menyebabkan kemunculan berbagai bencana seperti krisis pangan, wabah aneka macam penyakit, banjir, dan sebagainya. Salah satu contoh indikasi kegagalan manusia dalam mengelola air secara bijaksana ketika banjir Jakarta pada bulan Januari 2013 lalu. Di samping itu, pemerintah perlu melakukan terobosan dalam pengelolaan air bersih agar dapat dirasakan seluruh rakyat. Mengingat, saat ini secara kuantitas maupun kualitas, air di bumi mulai mencemaskan. Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) telah mengingatkan bahwa pada 2025 akan terdapat 1,8 miliar penduduk di kota-kota atau daerah-daerah yang mengalami kelangkaan air secara absolut. Kondisi dua pertiga penduduk dunia akan stres karena menghadapi persoalan air. Saat ini, permasalahan tersebut sudah terjadi di Indonesia. Kelangkaan air saat musim kemarau, sering melanda di beberapa wilayah di tanah air. Namun pada saat musim hujan, peningkatan air justru membawa bencana seperti banjir di kawasan yang dulu tidak pernah banjir. Pada sisi lain dengan jumlah penduduk Indonesia yang mencapai lebih dari 220 juta, kebutuhan air bersih menjadi semakin mendesak. Kecenderungan konsumsi air diperkirakan terus meningkat hingga 20-35 persen per kapita per tahun. Sedangkan ketersediaan air bersih cenderung berkurang akibat kerusakan alam dan pencemaran. Kementerian Pekerjaan Umum mencatat sekitar 36,6% atau 85 juta penduduk Indonesia belum menikmati air bersih. Kondisi ini mencerminkan tujuan pembangunan milenium atau Millenium Development Goals (MDG's) yang menetapkan 2015 minimal 50% penduduk sudah menikmati air bersih masih jauh. Dari segi akses air minum sampai saat ini tidak semua dari 450 Perusahaan Daerah Air Minum mampu melayani masyarakat. Sedikitnya ada 33 juta jiwa masyarakat masih belum mendapat akses air minum. Dengan kata lain masih 82 % rakyat terpaksa menggunakan air tak sehat. Sebagai perbandingan, tingkat akses terhadap air bersih di pedesaan Malaysia mencapai 94 %, Vietnam 72 % dan Indonesia yang kaya sumber daya air hanya 69 %, lebih rendah dari tetangga. Selama ini sektor pertanian merupakan pengguna terbesar air di bumi, sekitar 65 persen. Menurut World Water Council, jika tidak ada inovasi teknologi yang signifikan dalam meningkatkan produksi, maka pada 2020 sistem pertanian akan membutuhkan 18 persen air lebih banyak dibanding sekarang. Air merupakan hak kepemilikan umum yang mesti dikelola negara. Pengakuan atas hak-hak dasar tersebut tercantum di dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33, "Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat." Dengan demikian, negara bertanggung jawab menjamin ketersediaan air bagi setiap warga. Terancam Namun saat ini hak publik atas air terancam adanya agenda privatisasi dan komersialisasi air. Puluhan sumber air di beberapa daerah sudah dikuasai swasta. Sementara penduduk setempat mulai terganggu kelangkaan persediaan air bersih. Sejak Undang-Undang Sumber Daya Air (UU SDA) diberlakukan pada 19 Februari 2004, gema privatisasi dan komersialisasi air semakin menguat. UU SDA telah memunculkan penguasaan asing terhadap sumber daya air seperti penyertaan modal Suez Lyonnaise Des Eux (Prancis) dan Thames Water (Inggris) pada Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) sejak tahun 1998 atas sumber daya strategis ini yang seharusnya dikelola negara. Meski privatisasi termasuk air tanah, air permukaan, air sungai, air danau dan air laut akan menghasilkan keuntungan, namun bisa mengancam kedaulatan negara dan menimbulkan ekses-ekses yang tak senilai dengan keuntungan. Bahaya atau kerugian yang paling menonjol, tersentralisasi aset suatu negeri di sektor sumber daya air pada segelintir individu atau perusahaan bermodal besar dengan kecanggihan manajemen, teknologi, dan strategi. Dengan kata lain, mayoritas rakyat tercegah untuk mendapat dan memanfaatkan aset tersebut. Aset air bersih akhirnya hanya beredar di antara orang-orang kaya. Dengan demikian, privatisasi akan memperparah buruknya distribusi kekayaan. Selain itu, privatisasi air yang dibarengi dengan dibukanya pintu untuk para investor asing baik perorangan maupun perusahaan berarti menjerumuskan negeri ke dalam cengkeraman imperialisme ekonomi. Sebab, individu atau perusahaan kapitalis itulah yang nantinya akan menguasai dan mengendalikan sumber daya air. Kepemilikan umum atau negara akan terhapus dan berarti negara melepaskan diri dari tanggung jawab terhadap rakyat. Negara juga akan disibukkan untuk mencari sumber-sumber pendapatan baru. Sebab negara tidak mendapat sumber lain yang layak, kecuali memaksakan pajak yang tinggi atas berbagai pabrik, sektor, dan badan-badan usaha yang telah dijual. Ini akan melambungkan harga-harga dan tarif-tarif yang membebani masyarakat. Dengan kata lain, konsumenlah yang membayar pajak, bukan investor. Bila dicermati, kebijakan privatisasi dan komersialisasi air merupakan bagian dari agenda kapitalisme internasional yang didorong lembaga-lembaga keuangan mondial seperti World Bank, ADB, dan IMF. Kebijakan ini, tidak hanya berlaku bagi Indonesia tapi juga di sejumlah negara sebagai persyaratan pinjaman. Maka, bila program privatisasi terus berjalan akan menimbulkan banyak kerugian. Sebagaimana air dan bumi beserta isinya dikuasai negara, maka sudah saatnya dibuat regulasi yang berpihak pada pengelolaan air untuk rakyat. Air sungai, tanah, laut, sumur, danau dan sebagainya bisa dimanfaatkan secara langsung rakyat. Siapa saja dapat mengambil air. Misalnya air sungai untuk pengairan sektor perikanan dan pertanian. Negara perlu menjamin pemanfaatan khususnya air bersih agar terdistribusi secara merata ke masyarakat dan mengawasi agar tidak menimbulkan bahaya. Post Date : 18 Maret 2013 |