|
BANDUNG, KOMPAS — Sebanyak 159 mata air dalam radius 10 kilometer dari hulu Sungai Citarum di kaki Gunung Wayang, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, terancam sehingga mendesak dilestarikan. Mata air-mata air tersebut mulai kehilangan kawasan penyangga hijau dan tercemar akibat alih fungsi lahan. ”Keberadaan mata air vital. Mata air itu punya andil menjamin Sungai Citarum tetap menghidupi puluhan juta manusia,” kata Ketua Citarum Recovery Program Rahim Asik Budi Santosa setelah bertemu Gubernur Jabar Ahmad Heryawan untuk membicarakan perlindungan Sungai Citarum, di Bandung, Senin (4/11). Sungai Citarum adalah yang tersibuk di Jabar. Sungai sepanjang 279 kilometer ini menyediakan sumber air bersih bagi puluhan juta masyarakat Jabar dan DKI Jakarta. Namun, sungai yang mengalir di tengah kepadatan penduduk dan tinggi aktivitas ekonomi ini menjadi tempat pembuangan sampah rumah tangga, peternakan, hingga industri. Kondisi itu terjadi mulai dari kawasan hulu di Kecamatan Kertasari, Kabupaten Bandung, hingga kawasan hilir di Muara Gembong, Kabupaten Bekasi. Berdasarkan hasil pemetaan Citarum Recovery Program tahun 2013, 159 mata air itu tersebar di Desa Cibeureum, Cikembang, Cihawuk, dan Tarumajaya. Semua di Kecamatan Kertasari, Kabupaten Bandung. Keberadaan mata air bersaing dengan lahan Perhutani, PT Perkebunan Nusantara VIII, hingga permukiman, pertanian, dan peternakan milik masyarakat. Lebih dari 30.000 warga tinggal di empat desa itu. Pemetaan ini adalah salah satu program Citarum 10K yang digagas bersama Tim Citarum Roadmap Coordination Management Unit di Integrated Citarum Water Resources Management and Investment Program dan Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) Provinsi Jabar. Rahim mengatakan, sejauh ini belum ada penurunan debit air sungai yang signifikan. Debit air terpantau antara 15 liter per detik dan 500 liter per detik. Mata air Karanganyar memiliki debit air tertinggi, 500 liter per detik. Namun, Rahim khawatir kelestarian mata air tidak bertahan lama. Di sekitar mata air, praktik alih guna lahan dan pencemaran marak terjadi beberapa tahun terakhir. Gerakan penyelamatan Rahim mengatakan, beberapa gerakan mulai gencar dilakukan, antara lain penanaman pohon, gerakan bersih hulu Sungai Citarum, hingga mendorong munculnya desa rekreasi konservasi. Selain itu, alternatif program, seperti relokasi kandang sapi menuju kawasan terpusat hingga sosialisasi pola tanam pertanian ramah lingkungan, juga tengah digagas. ”Sejauh ini, masyarakat menyambut positif. Mereka juga khawatir hulu Sungai Citarum kini gundul dan kotor,” ujar Rahim. Heryawan mengatakan mendukung program ini. Penghijauan dan perlindungan hulu Sungai Citarum mendesak dilakukan. Hal ini penting agar kesehatan dan kesejahteraan masyarakat tetap terjaga. Ia berharap semua pihak, swasta atau pemerintah, mendukung program tersebut. Rohimat, peternak sapi di Desa Tarumajaya, mengatakan tidak punya pilihan lain ketika membuang kotoran sapi ke Sungai Citarum. Menurut Rohimat, peternak tidak memiliki penampungan kotoran sapi yang bisa mengolah lebih dari 2 ton kotoran sapi per hari. Dia mengatakan, ada sekitar 780 peternak pemilik 2.700 sapi di Desa Tarumajaya. Ia berharap, ide pengolahan kotoran sapi yang telah diterapkan peternak sapi Bandung utara bisa dilakukan juga oleh peternak sapi Bandung selatan. ”Pemanfaatan kotoran sapi menjadi biogas, pembuatan batako dari kotoran sapi, atau pupuk organik pasti lebih baik ketimbang membuangnya langsung ke sungai,” ujar Rohimat. (CHE) Post Date : 06 November 2013 |