|
Beberapa perempuan
terlihat masuk ke dalam bangunan di Kampung Ujung, Kelurahan Kepatihan,
Kabupaten Banyuwangi. Mereka membawa timba berisi pakaian kotor. "Sudah
dua tahun ini nyuci, mandi dan buang air di sini," ungkap Susi Ratna (43), salah satu dari perempuan di situ. Sebelumnya, Susi dan keluarganya memanfaatkan sungai untuk kebutuhan sehari-hari. "Bersyukur sih ada tempat mandi umum di sini. Enggak bingung lagi. Dulu kan jadi satu semuanya di sungai. Kalau di sini enggak ada namanya air mati. Selalu ada air. Tapi memang dipisah untuk tempat mandi kakus dengan cuci baju," tambahnya. Kamar mandi umum tersebut dikelola oleh Masyarakat Kota Pengabdi Lingkungan. "Kami menyebutnya Sanitasi Lingkungan berbasis masyarakat. Jadi fungsinya ya untuk mandi, cuci dan kakus," ungkap Ketua Masyarakat Kota Pengabdi Lingkungan Ramang Rameli Rakasiwi, beberapa waktu yang lalu. M enariknya limbah yang dihasilkan dari kamar mandi umum ini dikelola kembali, sehingga tidak mencemari lingkungan sekitar dan juga menjaga kelestarian air tanah. Ramang menjelaskan, saluran pembuangan air mandi dan cuci dibedakan dengan saluran pembuangan tinja. "Jadi ada dua penampungan. Satu untuk air mandi dan cuci pakaian, satu lagi untuk tinja," kata Ramang. "Khusus untuk tinja ditampung lalu diuraikan dulu menjadi gas-nya, sehingga yang tersisa tinggal air di penampung yang berukuran 180 x 90 cm. Lalu kemudian dijadikan satu dengan penampungan air bekas cuci dan mandi. Pusat pengelolaan air limbah yang terdiri dari tujuh bak yang berada di bawah tanah yang berfungsi mentralisir limbah domestik rumah tangga," kata Ramang. Dia lalu menunjukkan bak yang terpendam di dalam tanah yang terletak di belakang kamar mandi umum. Dengan pemurnian limbah tersebut, Bakteri Oksigen Demand (BOD) dan Carbon Oksigen Demand (COD) bisa diminimalisasi termasuk juga ecoli sehingga air tersebut aman jika dibuang ke sungai. "Sebenarnya air dari pemurnian tersebut bisa langsung dibuang ke sungai, namun menurut saya kok sayang ya. Akhirnya saya buatkan kolam dan saya isi dengan ikan lele. Ukurannya dua meter dan 190 cm," ungkap Ramang. "Di dalam kolam tersebut saya buat enam biopori sehingga air tersebut kembali meresap ke dalam tanah. Sehingga siklus air akan terus berputar dan tidak terbuang. Karena kamar mandi umum ini juga memanfaatkan air tanah," sambung Ramang. Sedangkan, demi mendapatkan air tanah yang layak konsumsi untuk keperluan kamar mandi umum, diperlukan pengeboran tanah dengan kedalaman 30 meter. "Daerah sini kan dekat pantai dan memang air tanah sulit. Jadi kami menyediakan galon yang berkapasitas 5.000 liter. Saya perhatikan kalau saya mengisi galon tersebut, ketinggian kolam ikan lele juga menyusut. Jadi memang sistem seperti ini benar-benar bisa menjaga kelestarian air. Tidak ada air yang terbuang sama sekali. Dan air juga sudah dimurnikan," ungkap dia. Menurut Ramang, setiap hari rata-rata ada 40 orang yang memanfaatkan tujuh kamar mandi tersebut. "Itu bisa lebih karena ada juga yang cuci pakaian. Mereka biasanya memasukkan uang seiklasnya di kotak yang disediakan di depan," ujar Ramang. Ramang berharap, sistem sanitasi yang ia kelola bisa juga digunakan di tempat lain terutama di kawasan padat penduduk yang memanfaatkan air tanah, serta tidak mempunyai jamban Sementara itu, Arief Setiawan, Kepala Dinas Kebersihan dan Pertamanan Banyuwangi menjelaskan, sanitasi tersebut merupakan bantuan dari pemerintah. "Pengelolaannya kami serahkan kepada masyarakat, karena memang niat awal adalah membudayakan masyarakat untuk buang air di jamban, bukan di sungai," ungkap Arief. "Dan syukur dengan adanya kamar mandi umum masyarakat punya pola hidup sehat. Apalagi sanitasi yang sudah dimodifikasi sendiri oleh masyarakat sehingga air limbah yang terbuang bisa diresapkan lagi, sehingga air tanah tetap terjaga," ujar Arief. Post Date : 01 Juli 2014 |