|
PALEMBANG, KOMPAS - Banjir sepekan lamanya yang merendam areal persawahan di Palembang, Sumatera Selatan, menyebabkan 6.400 hektar atau seluruh sawah di ibu kota provinsi tersebut belum dapat ditanami. Sebab, hingga Senin (25/2), sejumlah pembibitan padi rusak. Padahal, saat ini sudah memasuki awal musim tanam. Bahkan, akibat banjir, program pertanian seperti pemanfaatan sawah lebak untuk budidaya ikan di kawasan yang terendam tersebut juga tak bisa dijalankan. Genangan air terlihat juga masih cukup tinggi di sekitar kawasan rawa dan anak sungai. ”Sebelum banjir, beberapa petani sebenarnya sudah mulai persiapan untuk masa tanam. Namun, banjir kembali tinggi dan merusak persiapan musim tanam, termasuk bibit-bibit padi,” kata Kepala Dinas Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan Kota Palembang Sudirman Teguh. Menurut dia, pertengahan Februari lalu seharusnya sudah memasuki masa tanam untuk sawah-sawah di Palembang, terutama sawah lebak dangkal. Namun, hingga pekan ketiga Februari ini belum ada sepetak pun sawah di kota itu dapat ditanami akibat genangan banjir. Sejauh ini, sebagian besar sawah di Palembang merupakan sawah lebak, yang biasanya terendam banjir selama bulan Desember hingga Januari. Selama ini, mulainya masa tanam sangat tergantung pada surutnya banjir di sawah. Pergeseran masa tanam hingga kini belum dapat diperkirakan karena banjir besar pada Februari biasanya tak terjadi pada waktu lalu. Menurut Sudirman, dua tahun terakhir terlihat adanya perubahan pola cuaca, yaitu banjir di areal persawahan di Palembang berlangsung lebih lama dengan genangan air lebih tinggi lagi. Siapkan kontijensi Untuk menanggulangi terjadinya bencana, Kepala Bidang Kedaruratan dan Logistik Badan Penanggulangan Bencana Daerah Sumatera Barat (Sumbar) Ade Edward mengatakan, sejumlah daerah kabupaten/kota di Sumbar diminta menyiapkan rencana kontijensi. ”Alasannya, hingga kini setidaknya sudah ada delapan kali gempa bumi secara beruntun dengan kekuatan 3-4 skala Richter pada patahan Sumatera di sekitar Kota Bukittinggi. Padahal, pada periode sebelumnya tidak pernah terjadi gempa bumi seperti itu,” kata Ade. Sementara itu, tim pencinta alam Avante dari Jurusan Teknik Fisika, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, berhasil menjadi juara pertama kompetisi internasional untuk pemanfaatan energi surya untuk mengangkat air di daerah terpencil. (IRE/TOP/INK) Post Date : 26 Februari 2013 |