|
Di tengah melimpahnya air banjir, keluarga Kusnadi (69), warga kawasan Senen, Jakarta Pusat, justru
Penderitaan keluarga Kusnadi tidak seberapa dibandingkan ribuan warga yang rumahnya tidak jauh dari Sungai Ciliwung, seperti Kampung Pulo, Kampung Melayu, Jakarta Timur. Ini akibat ketinggian air di perkampungan langganan banjir itu rata-rata di atas 1,5 meter. Untuk membantu meringankan penderitaan warga saat banjir, Lembaga Afiliasi Penelitian dan Industri (LAPI) Indowater ITB bersama Ikatan Dokter Indonesia (IDI) mengoperasikan water treatment plan (WTP) mobile. WTP adalah alat pengolah air bersih bergerak milik Kementerian Pekerjaan Umum yang ditempatkan di Kampung Pulo, Kampung Melayu. LAPI, yang dibangun berdasarkan SK Menteri Pendidikan tahun 1959, mengambil bahan baku air yang bersumber dari luapan Ciliwung. Pada saat banjir, kekeruhan sungai ini mencapai 10.000 NTU (nephelometric turbidity units/tingkat kekeruhan air). Persyaratan air minum biasanya maksimum 5 NTU. Pada saat normal, tingkat kekeruhan Ciliwung sekitar 15.000 NTU. Air keruh berwarna coklat itu diolah dalam instalasi WTP LAPI ITB, hasilnya bisa ditekan menjadi 0,0 NTU atau jernih sekali. Air bersih/air minum dengan PH 7 dan NTU 0 bisa diproduksi sampai 500.000 liter per hari di kampung itu. ”WTP mobile dioperasikan LAPI ITB dan IDI pusat serta langsung didistribusikan ke warga di sekitar Kampung Pulo,” ujar Rusnandi Garsadi, pengelola WTP dari LAPI ITB. WTP mobile micro hydraulic LAPI ITB sudah mendapat hak paten dari Kementerian Hukum dan HAM sejak 2006. Risetnya dilakukan di ITB dengan inventor Prof Suprihanto Notodarmojo, Dr Rusnandi Garsadi, Prof Indratmo Sukarno, dan Dr Harun Sukarmadijaya. Riset untuk alat ini juga dilakukan di daerah tropis di Indonesia dan subtropis di Eropa/TU Delft Belanda. Alat ini dapat mengolah air dari kekeruhan sangat tinggi dengan kebutuhan daya listrik 700 watt dan menghasilkan 500.000 liter per hari. Kebutuhan bahan penjernihnya cukup hemat karena menggunakan bahan lokal dan dapat melayani 30.000 warga. WTP mobile sudah dipakai sejak tsunami Aceh tahun 2004-2005; gempa besar di Bantul, Yogyakarta; tsunami Pangandaran 2006; banjir besar di Jakarta 2007; gempa di Padang; dan banjir Bandung selatan. Beragam peristiwa bencana longsor di kawasan Bogor dan Cianjur yang berujung malapetaka kematian serta banjir yang semakin meluas di Bekasi, Depok, dan Jakarta merupakan bencana ekologis akibat kerusakan koridor ekologis daerah aliran sungai (DAS) yang semakin parah dan akut. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jawa Barat mengamati, kerusakan ekologis terjadi di DAS hulu, yaitu di kawasan Bogor, Puncak, dan Cianjur (Bopunjur) yang rentan menimbulkan bencana di kawasan bawah, yaitu Jakarta Depok, Tangerang, dan Bekasi. Faktor curah hujan yang tinggi hanyalah pemicu, sementara dataran rendah Bekasi, Depok, dan Jakarta merupakan kondisi topografi alamiah yang berdekatan dengan pesisir laut utara Jawa. ”Di kawasan ini permukaan tanahnya semakin turun akibat beban pembangunan dan eksploitasi air bawah tanah yang dahsyat,” ujar Dadan Ramdan, Direktur Eksekutif Walhi Jabar. Penyebab bencana ekologis itu, menurut Walhi, karena salah urus atau salah kelola ruang. Pengelolaan lingkungan kawasan, baik provinsi maupun kabupaten/kota, makin hari makin buruk. Beragam kebijakan penataan ruang, baik oleh pemerintah pusat; Provinsi Jawa Barat, Banten, dan DKI Jakarta; maupun kabupaten/kota seperti Kabupaten Tangerang, Kabupaten Bogor, Kota Bogor, Kabupaten Bekasi, Kota Bekasi, Kota Depok, dan Kabupaten Cianjur, telah menjadi faktor determinan rusaknya ruang hidup ekologis. Di pusat, ada Peraturan Presiden No 54/2008 tentang Penataan Ruang Kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, dan Cianjur. Perpres ini dinilai Walhi terlalu membuka peluang alih fungsi kawasan konservasi, resapan air, serta lindung dan produktif menjadi kawasan komersial, permukiman/perumahan skala besar, industri, dan sarana pembangunan infrastruktur jalan tol yang masif. Perpres No 32/2011 tentang Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia 2011-2025 juga memiliki potensi dan daya rusak terhadap koridor ekologis di kawasan Bodetabekpunjur. Sebab, agendanya, pembangunan industri jasa, bandara, dan infrastruktur wilayah lain. ”Artinya, ke depan, malapetaka bencana ekologis akan semakin nyata dan parah,” ujar Dadan. Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo menyebutkan, banjir yang melanda Ibu Kota awal tahun ini menimbulkan kerugian Rp 20 triliun. Apabila kondisi ini terus dibiarkan, kerugian yang dialami ibu kota Republik Indonesia ini akan semakin besar. Oleh karena itu, Walhi meminta pemerintah pusat dan daerah merevisi semua aturan yang tidak prolingkungan. Ketua Badan Kerja Sama Pembangunan Jakarta-Bogor-Depok-Tangerang-Bekasi-Cianjur Ahmad Heryawan menyatakan, banjir yang setiap musim hujan menghantui ibu kota RI mustahil bisa diatasi sendiri oleh DKI Jakarta. Penyelesaiannya harus melibatkan pihak terkait sebagai daerah hulu sungai di Jawa Barat. Post Date : 16 April 2013 |