|
TANGERANG SELATAN, KOMPAS — Sampah yang dihasilkan oleh 1,2 juta penduduk di Kota Tangerang Selatan berikut pasar di daerah ini belum terkelola dengan baik. Sistem pengolahan sampah sanitary landfill yang seharusnya diterapkan di Tempat Pengolahan Sampah Terpadu Cipeucang, Kecamatan Setu, hingga kini tak berjalan optimal. Sebanyak 600-700 meter kubik sampah per hari hanya ditumpuk di lahan yang seharusnya menjadi tempat pengolahan sampah sistem tersebut. Menurut pantauan Kompas, Senin (7/4), lahan yang seharusnya menjadi tempat pengolahan sampah sistem sanitary landfill sudah membukit. Tidak ada lagi lahan cekung yang dapat menampung sampah untuk selanjutnya dioleh. Bahkan, truk dan pikap yang mengangkut sampah mendaki bukit sampah untuk menurunkan muatan sampah dari sejumlah pasar dan permukiman warga. Tak ada saluran atau drainase yang dibangun untuk mengalirkan lindi (air sampah berwarna hitam dan berbau busuk) sampai ke kolam penampungan. Bau tak sedap dikeluhkan warga sekitar. ”Setiap hari kami harus mencium bau (sampah) yang semakin menyengat,” kata Ketua Forum Transerta Masyarakat TPST Cipeucang Endang Sugianto. Kepala Dinas Kebersihan Pertamanan dan Pemakaman Tangerang Selatan (Tangsel) Taher Rochmadi mengaku, hingga tahun ini belum akan ada tindakan untuk TPST tersebut. ”Biaya untuk pengadaan alat pengolahan sampah tergolong mahal. Kami tidak mau gegabah menentukan alat seperti apa yang akan diterapkan di TPST ini,” katanya. Taher saat ini masih mengkaji sejumlah lokasi tempat pengolahan sampah. Sebagai langkah preventif, pemerintah daerah masih mengandalkan program TPST 3R dan bank sampah. Ali Said, pengawas di kantor TPST Cipeucang, mengatakan, setiap hari 35 truk mengangkut sampah masuk ke TPST Cipeucang, Serpong. Setiap truk melayani pengangkutan sampah sebanyak satu rit. Volume sampah yang terangkut dari 35 truk sebanyak 416-430 meter kubik per hari. Sementara dari 29 pikap, sampah yang terangkut sebanyak 258-260 meter kubik per hari. Proyek mandek Selain sampah, sejumlah proyek fisik di Tangsel juga mandek. Pembangunan jalan dan penambahan ruang kelas, misalnya, masih menunggu proses lelang yang direncanakan akan digelar pertengahan bulan ini. Sekretaris Daerah Tangsel Dudung E Diredja mengatakan, semua proyek yang hendak dikerjakan itu sebenarnya telah masuk rencana umum pengadaan. Kepala Dinas Tata Ruang, Bangunan, dan Permukiman Tangsel Dendi Priyandana mengatakan, pertengahan bulan ini semua proses lelang dapat dilakukan, salah satunya penambahan ruang kelas SD Cilenggang 2, Tangsel. Sebelumnya, pembangunan gedung sekolah itu terhenti sejak Desember lalu. Sejumlah siswa terpaksa dititipkan di sekolah-sekolah lain di sekitarnya. Namun, untuk proyek lain, seperti pembetonan Jalan Siliwangi dan Puspiptek Raya, warga harus tetap bersabar. Menurut Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Sumber Daya Air Tangsel Retno Prawati, pembangunan ruas jalan provinsi itu ternyata tidak dianggarkan dalam APBD Provinsi Banten tahun ini. ”Proyek tersebut akan dimasukkan dalam anggaran perubahan pada Oktober nanti,” kata Retno. Pihaknya tidak dapat berbuat banyak terkait persoalan itu. Sejauh ini, ia hanya akan melandaikan pinggiran jalan beton yang telah ada untuk mengurangi risiko bahaya yang ditimbulkan. Selebihnya, untuk proyek-proyek yang ditangani oleh Pemerintah Kota Tangsel, Retno menjamin semuanya diselesaikan tahun ini. Molornya proses lelang dan penyelesaian aneka proyek fisik di Tangsel merupakan buntut dari molornya semua tahapan pembahasan anggaran. Menurut sejumlah pihak di kota itu, salah satu kendala adalah birokrat dirundung ketakutan sebagai dampak kasus hukum yang menjerat Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah dan kroninya. Ditemui seusai sosialisasi Tim Evaluasi dan Pengawasan Penyerapan Anggaran, Asisten Kepala Unit Kerja Presiden untuk Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan Sarma Marpaung mengatakan, pengelolaan anggaran sebenarnya adalah komitmen semua pihak, baik eksekutif maupun legislatif. ”Apa pun kendalanya, seharusnya pembahasan tidak boleh molor, ” kata Marpaung. Ketakutan birokrat terkait perkara hukum menurut dia dapat dihindari dengan membuat perencanaan yang transparan dan proses implementasinya melibatkan masyarakat. ”Tidak harus 100 persen, tetapi penggunaan anggaran yang dibelanjakan dapat dipertanggungjawabkan,” kata Marpaung. (JOS/PIN) Post Date : 08 April 2014 |