Sutiyoso dan Foke Diminta Jadi Saksi Kasus Swastanisasi Air

Sumber:kompas.com - 25 Juni 2013
Kategori:Air Minum

Koalisi Masyarakat Menolak Swastanisasi Air Jakarta bersorak gembira ketika majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang diketuai Nawawi memutuskan untuk melanjutkan perkara swastanisasi air. Mereka pun berencana mendatangkan dua mantan Gubernur DKI Jakarta, Sutiyoso dan Fauzi Bowo, serta Dirut PDAM untuk menjadi saksi dalam persidangan.

"Sesuai harapan kami, nanti dalam sidang berikutnya kami akan tarik saksi-saksi. Kami mencoba menarik Foke, Sutiyoso, dan Dirut PDAM tahun '97 Samsul Romi," kata Zidane (74), anggota komunitas pelanggan air minum, ketika ditemui seusai persidangan, Selasa (25/6/2013). 

Zidane melanjutkan, alasan pihaknya untuk mendatangkan saksi-saksi tersebut karena ketiganya ialah orang yang menandatangani penjualan saham PDAM ke PT PAM Lyonnaise dan PT Aetra Air. 

"Mereka harus mengakui bahwa mereka yang menandatangani MoU antara PDAM dengan Palyja dan Aetra," terangnya.

Sidang kasus swastanisasi air ini akan dilanjutkan pada 9 Juli 2013 dengan agenda keterangan saksi.

Gugatan ini diajukan oleh 14 warga DKI Jakarta yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Menolak Swastanisasi Air Jakarta (KMMSAJ). Mereka di antaranya Tiharom (nelayan) serta Risma Umar dan Nurhidayah dari Solidaritas Perempuan. Mereka melayangkan gugatan kepada Presiden dan Wakil Persiden RI, Menteri Pekerjaan Umum, Menteri Keuangan, Gubernur DKI Jakarta, PDAM, dan DPRD Provinsi DKI Jakarta. Sementara PT PAM Lyonnaise dan PT Aetra Air Jakarta didudukkan sebagai Turut Tergugat. 

KMMSAJ melayangkan gugatan warga negara atau citizen lawsuit kepada PDAM DKI Jakarta karena dianggap telah melakukan perbuatan melawan hukum. Dalil ini diajukan karena pemerintah terus melanggengkan swastanisasi pengelolaan layanan air di Provinsi DKI Jakarta. 

Sementara itu, konstitusi secara tegas mengatakan bahwa air adalah cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak. Fakta di lapangan mencatat pengelolaan air di Jakarta diserahkan kepada PT Palyja dan PT Aetra Air Jakarta. Perjanjian ini akan terus berlanjut hingga 2023. 

Akibat perjanjian tersebut, rakyat disinyalir semakin sengsara dan dirugikan karena tidak semua warga negara dapat mengakses air. Sedangkan tarif air di Jakarta semakin mahal. Saat ini masyarakat harus membayar sebesar Rp 7.500 per meter kubiknya.

Tingginya harga air bersih per unit disebabkan oleh inefisiensi proses provision, produksi, dandelivery air bersih sehingga biaya inefisiensi ini dibebankan kepada konsumen. Selain menimbulkan kerugian terhadap rakyat, kerja sama ini juga menimbulkan kerugian ke beberapa pihak, baik pemerintah pusat, Pemerintah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta, maupun PDAM. 

Untuk pemerintah pusat, kerugian yang ditanggung adalah berupa pemberian subsidi sebesar Rp 234 miliar pada 1998. Sedangkan kerugian Pemprov DKI Jakarta adalah kehilangan pendapatan asli daerah yang berasal dari PAM Jaya sebesar Rp 3 miliar hingga Rp 13 miliar. 

Perjanjian swastanisasi itu pun dilakukan secara tertutup. Masyarakat tidak dilibatkan dalam perjanjian tersebut. Padahal, PDAM adalah lembaga publik yang bertanggung jawab kepada masyarakat sehingga masyarakat berhak mengetahui perjanjian kerja sama itu. 

Karena hal tersebut, KMMSAJ meminta kepada majelis hakim agar memerintahkan para tergugat menghentikan kebijakan swastanisasi air bersih di Provinsi DKI Jakarta dan melaksanakan pengelolaan air bersih sesuai dengan prinsip-prinsip dan nilai-nilai hak asasi atas air sebagaimana tertuang dalam Pasal 11 dan 12 Konvenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya yang telah diratifikasi melalui UU No 11 Tahun 2005.



Post Date : 26 Juni 2013