|
Banjarmasin, Kompas - Memperingati Hari Lingkungan Hidup yang jatuh pada tanggal 5 Juni lalu, ratusan nelayan dengan sekitar 100 balapan (sejenis perahu bermesin khas Kalsel) di Kota Baru, Kalimantan Selatan, berkonvoi menuju pelabuhan. Mereka menuntut pemerintah memerhatikan nasib nelayan yang kini semakin terpuruk akibat tangkapan mereka kian berkurang. Aksi yang digelar di perairan Kota Baru, Rabu (9/6) pagi, sekaligus sebagai rangkaian protes nelayan terhadap buangan limbah batu yang diduga berasal dari buangan pengerukan alur dari kegiatan industri semen. Limbah batu tersebut diprotes warga karena sering mengakibatkan jaring mereka tersangkut. Ketua Ikatan Nelayan Saijaan Kota Baru Arbani N mengatakan, kegiatan tersebut merupakan rangkaian kegiatan peringatan Hari Lingkungan Hidup Sedunia. Aksi bertajuk "Penyelamatan Laut untuk Kehidupan Rakyat" tersebut diikuti sekitar 100 balapan. Para nelayan membawa balapan menuju pelabuhan dan kemudian mendudukinya. Mereka menuntut agar limbah-limbah tersebut disingkirkan dari tempat beroperasinya nelayan. Arbani mengatakan, sejak Juli 2002 sekitar 3.697 jiwa keluarga nelayan di Desa Rampa, Semayap, Kota Baru Hilir, dan Kota Baru Hulu, Kecamatan Pulau Laut Utara, semakin terpuruk akibat pendapatan mereka semakin berkurang. "Alat tangkap nelayan, seperti gondrong, lampara dasar mini, rengge bawal, dan rengge malam rusak tersangkut batuan limbah. Sekarang laut tempat kami menggantungkan hidup sudah tidak bisa diharapkan," kata Arbani. Arbani mengatakan, akibat dari pembuangan limbah tersebut nelayan harus pindah ke lokasi yang lebih jauh lagi untuk mencari ikan dan udang. "Akhirnya biaya operasional meningkat sampai 67 persen, penghasilan bersih menurun sampai 50 persen, dan pedagang pengumpul mengalami penurunan pendapatan sampai 51 persen," kata Arbani. Menurut Ketua Badan Perwakilan Desa Rampa Nurhasan Effendi, para nelayan sudah melaporkan kasus itu ke BPD Rampa. "Kami sudah berusaha memfasilitasinya dengan melaporkannya ke pemerintah. Sekarang sudah ditindaklanjuti dengan penelitian, tetapi tindak lanjutnya belum memuaskan nelayan," katanya. Dosen Perikanan Universitas Lambung Mangkurat yang melakukan penelitian di lokasi yang diduga menjadi tempat buangan limbah batu, Suhaili Asmawi, mengakui, di tempat yang diributkan nelayan tersebut memang ditemukan batu-batu. Selain batu, Suhaili menemukan alat tangkap lamparan dasar yang tersangkut. Suhaili mengungkapkan, turbiditas (tingkat kekeruhan) di lokasi penangkapan ikan tersebut juga tinggi. Jarak pandang hanya 20 sentimeter. (AMR) Post Date : 10 Juni 2004 |