|
Seorang doktor warga Indonesia, Pandji Prawisudha, dari
Department of Environmental Science and Technology Tokyo Institute of
Technology, Jepang, berusaha kuat mencari solusi bagi daur ulangsampah di
Indonesia dengan keterbatasan yang ada. Berikut wawancara khusus koresponden Tribunnews.com,
Richard Susilo, di Tokyo, Jepang, baru-baru ini dengannya.
Tribunnews.com (T): Bisa
cerita mengenai penelitian anda mengenai pengolahan sampah? Pandji (P) : Penelitian s3 saya mengenai pengolahan sampah plastik
menjadi produk yang dapat dimanfaatkan menjadi bahan bakar. Seperti yang kita ketahui, sampah plastik,
terutama dari PVC, memiliki kandungan klorin (Cl) yang jika dibakar akan
menjadi donor dalam pembentukan dioksin, gas yang secara umum diakui beracun
bagi manusia. Penelitian yang kami lakukan adalah mengurangi kandungan klorin
di dalam plastik, menggunakan proses hidrotermal, sehingga produknya lebih
ramah lingkungan karena sangat sedikit mengandung klorin. Proses hidrotermal sendiri saya analogikan seperti panci
bertekanan ("presto") yang tidak hanya mengempukkan tulang, tapi juga
"mengempukkan" hampir semua jenis sampah, baik organik maupun
plastik. Sayang sekali karena ilmu saya lebih bersifat teknologi, sisi
pengelolaan (manajemen) tidak tersentuh dalam studi S-3 saya.
T: Indonesia penuh
keterbatasan, termasuk keterbatasan dana, bagaimana solusinya? Kondisi di Jepang seperti
sirkuit yang halus, sehingga dengan ban slick, mobil formula bisa digunakan di
sana. Tapi di tanah air, kondisinya lebih mirip jalan protokol di Bandung yang Mengingat kondisi ini, sebagai ilmuwan kita harus bisa mencari
teknologi yang ekonomis dan sesuai dengan kondisi sosial masyarakat Indonesia,
bukan teknologi impor "as it is". Dengan keterbatasan uang yang ada, situasi sekarang sudah yang
paling ekonomis: masyarakat tidak memilah, sampah diambil
pengangkut skala kecil, dan komponen-komponen yang masih bisa berguna (plastik,
logam) diambil oleh pemulung untuk didaur ulang. Semua senang, dan kemungkinan
besar tingkat daur ulang kota-kota besar Indonesia sama dengan negara-negara
maju. Masalah yang kita hadapi sebetulnya di sisi kesehatan fisik dan
sosial pemulung dan di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) yang tidak memiliki
fasilitas pengolahan sehingga bau dan sebagainya. Karena itu masyarakat tidak
ingin berdekatan dengan TPA, dan hal ini menyebabkan TPA harus dibuat di tempat
yang jauh, mengakibatkan frekuensi pengangkutan sampah TPS
(Tempat Pembuangan Sementara) yang rendah sehingga sampah keburu
bau sebelum diangkut. Saya pikir untuk jangka pendek (s.d. 10 tahun) kita harus fokus
mengembangkan teknologi pengurangan volume dan bau sampahsecara ekonomis dan relatif mudah
dioperasikan.
T: Lalu kelanjutannya
bagaimana? Terutama dalam jangka pendek ini. P: Dalam jangka pendek sebaiknya mengembangkan sistem pengolahan sampah yang
dapat mengurangi volume dan bau sampah. (Tentu saja) Karena saya mengembangkan
teknologi hidrotermal di tanah air, volume dan bau ini dapat dikurangi dengan
teknologi tersebut, dan produknya dapat digunakan sebagai bahan bakar di
pabrik-pabrik yang biasa menggunakan bahan bakar padat (batubara). Jika kita mulai menerapkan pemilahan, produknya dapat digunakan
untuk keperluan lain: pupuk organik dari sampah biomassa
dan kotoran ternak, pakan ternak dari sisa makanan, bahan bakar padat dan cair
kualitas tinggi dari produk buangan industri. Dengan begitu, fasilitas
pengolahan sampah "akhir"
akan menjadi tempat pengolahan sementara sebelum ditransfer ke tempat lain yang
membutuhkan, dan usia pakai TPA model baru ini akan secara praktis menjadi
tidak terbatas. Dari sisi modal, tentu saja butuh dana besar dan saya pesimis
bisa ditanggung pemerintah/PD Kebersihan. Jika kita asumsikan pemasukan dari
"tipping fee" PD Kebersihan saja, maka BEP (balik modal) baru
tercapai kira-kira dalam 7 tahun. Saat ini saya bekerja sama dengan swasta
untuk
T: Ada saran bagi
pemerintah dan atau masyarakat luas? P: Saran untuk masyarakat sekaligus pemerintah yang membuat
peraturan adalah coba pikirkan sampah bukan
sebagai benda bau dan kotor serta tidak bermanfaat, tapi sebagai "sumber
daya alam yang tidak termanfaatkan". Jika masyarakat memiliki pandangan baru ini, sampah tidak
akan dibuang sembarangan tapi malahan dikumpulkan untuk kepentingan sendiri.
Saya pikir konsep pemilahan dan bank sampah juga
sangat bagus, karena memang sampah itu
masih bernilai ekonomis jika kita tahu cara memanfaatkannya. Sebagai contoh, sampah HP
memiliki kandungan emas yang lebih tinggi dibandingkan tambang emas, jika kita
tahu cara mengekstraknya. Dari sisi hukum, jika pemerintah dan pembuat peraturan memiliki
pandangan baru ini, maka abu sampah/produk pengolahan sampahtidak akan dimasukkan ke dalam golongan
B3 yang sulit dan mahal pengolahannya, dan pada akhirnya menciptakan masyarakat
yang mendaur ulang sampah secara
total. Semoga skema bisnis yang saya rancang ini akan bermanfaat buat
semua. Masyarakat tidak perlu repot-repot memilah sampah, pemilahan akan
dilakukan pemulung yang direkrut sebagai pegawai Post Date : 14 Mei 2013 |