NAMLEA, KOMPAS - Ketahanan pangan Maluku terancam setelah 3.000 hektar dari 5.483 hektar luas total areal persawahan di Kabupaten Buru, Maluku, terendam banjir selama dua pekan terakhir. Produksi beras Buru selama ini menyumbang 30 persen dari kebutuhan beras seluruh Maluku.
Kepala Dinas Pertanian Kabupaten Buru Machmud Tan, Senin (9/8), mengatakan, banjir telah mengakibatkan sekitar 3.000 hektar sawah terendam. Tanaman padi di hamparan itu berusia sekitar satu bulan dan sebagian telah mendekati masa panen.
Seluruh sawah di Pulau Buru terhampar di Kecamatan Waeapo, termasuk 3.000 hektar sawah yang terendam oleh banjir akibat luapan Sungai Waeapo dan Waegeren dua pekan terakhir.
Namun, berapa luas sawah yang gagal panen akibat terendam, Machmud masih akan mengecek. ”Kalaupun tidak gagal panen, produksi padi pasti berkurang,” katanya.
Karena itu, Machmud khawatir banjir mengganggu ketahanan pangan di Buru. Jika seluruh tanaman padi gagal panen, produksi beras Pulau Buru bisa berkurang sampai 30 persen dari rata-rata produksi setiap tahun yang mencapai 21.933 ton.
Hal ini bisa juga mengganggu ketahanan pangan Provinsi Maluku secara keseluruhan.
Bagi petani, terendamnya sawah mereka selama hampir dua pekan menyebabkan kerugian belasan juta rupiah. Sarwadi (40), petani Desa Air Mendidih, Waeapo, menaksir kerugiannya sekitar Rp 15 juta.
”Satu hektar sawah yang sebetulnya sudah mau panen terendam banjir selama dua minggu. Kalau begini kondisinya, tidak akan bisa panen. Harus tanam ulang bibit,” kata Sarwadi.
Kepala Desa Waeleman Suyitno mengatakan, di desanya terdapat sekitar 25 hektar sawah siap panen yang terendam banjir. Diperkirakan seluruh tanaman padi di persawahan tersebut gagal panen.
”Setiap tahun Sungai Waeapo dan Waegeren meluap dan merendam sawah petani, tetapi hingga sekarang tidak ada perhatian pemerintah untuk mencegah banjir. Akibatnya, selama setahun sawah petani hanya bisa panen satu kali dari sebetulnya bisa sampai dua hingga tiga kali panen,” katanya.
Tidak tuntas
Wakil Bupati Buru Ramly Umasugi mengatakan, banjir yang terjadi setiap musim hujan di Waeapo tidak pernah tuntas karena penanganan yang dilakukan sepotong-sepotong.
”Normalisasi sungai oleh pemerintah pusat hanya sedikit demi sedikit, sedangkan pendangkalan terjadi di hampir sepanjang sungai,” kata Ramly.
Selain normalisasi sungai tidak menyeluruh, pembangunan bendungan Sungai Waigeren oleh pemerintah pusat
juga tidak kunjung tuntas. Padahal, bendungan di lahan seluas sekitar 1.000 hektar itu mulai dibangun 20 tahun lalu.
Machmud mengatakan, minimnya perhatian pemerintah pusat untuk mencegah banjir di Waeapo kontras dengan kebijakan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang pada 18 Maret 2006 mencanangkan Buru sebagai lumbung beras Maluku, bahkan bagi kawasan timur Indonesia. Pencanangan ini dilakukan saat panen raya di Waeapo. (APA)
Post Date : 10 Agustus 2010
|