|
Pusat Pengkajian Jakarta (PPJ) menilai, swastanisasi pengelolaan sampah di Jakarta tidak optimal. Justru, menimbulkan alokasi anggaran sangat besar untuk pengelolaan sampah, tidak sebanding dengan dampak yang dihasilkan. Berdasarkan data yang diperoleh PPJ, pengelolaan sampah di Jakarta melewati beberapa tahap, yaitu penyapuan dan pengumpulan; pengangkutan dan pembuangan; dan pengolahan terakhir. Setiap tahapan itu memiliki anggaran tersendiri. Sehingga, jika dihitung dari penyapuan hingga TPA total anggaran yang harus dikeluarkan Rp 300.000. Seperti tahap penyapuan dan pengumpulan, untuk satu meter persegi Pemprov DKI Jakarta melalui Dinas Kebersihan menganggarkan Rp 2.777. Penyapuan ini untuk di lokasi publik dan juga di kawasan pemukiman. Untuk pengangkutan dari penampungan sementara menuju tempat penampuangan terakhir mengeluarkan anggaran dengan dua tipe. Pengangkutan dengan kendaraan tipe kecil Rp 22.393/ton dan tipe angkutan besar Rp 167.343/ton. Sesampai Tempat Pembuangan Sampah Terpadu (TPST) Bantargebang, Bekasi, Jawa Barat, Pemprov DKI Jakarta juga harus membayar Rp 114.000/ton. Ketua PPJ, M Taufik menegaskan, pengelolaan sampah yang diswastanisasikan oleh Dinas Kebersihan DKI, tidak hanya pada TPST Bantargebang. Melainkan pengelolaan sampah dari rumah masyarakat atau lokasi bertumpuknya sampah juga telah diswastanisasikan. Ada sebanyak 38 perusahaan yang melakukan penyapuan hingga pengangkutan sampah dari rumah masyarakat hingga ke tempat pembuangan sampah akhir. “Sayangnya, cara pengelolaan sampai ini tidak optimal. Anggaran yang dikeluarkan terlalu besar. Sedangkan sampah tidak terangkut dengan baik. Selama ini, pengangkutan itu kami nilai tidak maksimal, karena dibawa dengan truk pada siang hari. Tentu saja kelancarannya terganggu, karena terhalang macet. Belum lagi dampak polusi udara yang ditimbulkan cukup mengganggu masyarakat,” kata Taufik dalam diskusi Pengelolaan Sampah DKI Jakarta di Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta, Rabu (26/6). Karena itu, Taufik mengusulkan pengelolaan sampah di Jakarta di tingkat awal hingga pengangkutan terakhir lebih baik dipadatkaryakan. Masyarakat bisa diedukasi untuk menjaga sampah lebih teratur. Kemudian sampah yang dikumpulkan dibayar oleh pemeritah daerah. “Cara seperti itu akan lebih efektif dan dapat mengantisipasi potensi kebocoran pengangkutan. Dengan padat karya dapat melahirkan 5.000 lowongan kerja untuk masyarakat Ibu Kota ini,” ujarnya. Anggota Komisi D DPRD DKI, Boy B Sadikin menyarankan, Pemprov DKI Jakarta melakukan audit investigasi terhadap TPST Bantargebang. Dia menduka pengelolaan sampah di tempat itu menimbulkan kerugian terhadap Pemprov DKI Jakarta. Terutama dalam investasi untuk mengolah sampah menjadi energi listrik. Padahal Pemprov DKI Jakarta telah mengeluarkan anggaran Rp 130 miliar. Kegiatan itu dilakukan oleh PT Godang Tua Jaya (GTJ) Jo PT Navigat Organic Energy Indonesia. ”Laporan Kepala UPT TPST Regional, pada 2012 terjadi kegagalan investasi sebesar Rp 130 miliar, tapi didiamkan saja. Ini melanggar isi kontrak. Saya meminta Kepala Dinas Kebersihan DKI Jakarta segera melakukan audit investigasi terhadap investasi Bantargebang,” tegas politisi PDIP ini. Sementara itu, Kepala Dinas Kebersihan DKI Jakarta, Unu Nurdin menegaskan, kinerja PT GTJ sebagai operator untuk pengelolaan sampah di Jakarta tidak mengalami masalah. Kinerja perusahaan itu dianggap berhasil dan mampu menampung 6.500 ton/hari. ”Kita menganggap tidak ada masalah dengan PT GTJ,” tuturnya.
Post Date : 27 Juni 2013 |