|
BEBAN Jakarta sebagai ibu kota kian hari semakin bertumpuk. Seperti halnya tumpukan sampah yang tersebar di semua sudut kota berjulukan megapolitan ini. Kini dalam sehari dihasilkan 6.500 ton sampah dari 10 juta penduduk Jakarta. Semuanya diangkut 1.100 truk yang saban hari hilir mudik melayani masyarakat. Menurut Kepala Bidang Peran Serta Masyarakat dan Kebersihan Suku Dinas Kebersihan Jakarta Pusat Ajang P Pinem, kebanyakan sampah berasal dari rumah tangga. Penanganan sampah itu pun beragam, yakni diangkut petugas kebersihan (23,4%), dikubur dalam tanah (4,2%), dibuat kompos (1,1%), dibakar (52,1%), dibuang di selokan/sungai/laut (10,2%), dan dibuang ke sembarang tempat (9%). Menurut Ajang, penanganan sampah seperti itu menunjukkan perilaku warga Jakarta yang tidak memedulikan sampah rumah tangga. “Masyarakat mencari cara paling mudah dan murah dalam menangani sampah rumah tangga,“ kata Ajang, kemarin. Padahal, cara tersebut, tutur Direktur Organisasi Nonpe merintah pro-Lingkungan Indonesia Solid Waste Association (InsWa) Sri Bebasari, berpengaruh terhadap lingkungan dan kesehatan. “Membakar sampah di tempat terbuka menghasilkan gas beracun dan dioksin yang berasal dari proses pembakaran plastik dan bahan beracun. Hal ini menambah polusi udara yang membahayakan kesehatan,“ ujar Sri. Mempertegas aturan Metode salah lainnya, lanjut Sri, ialah pembuangan sampah dengan metode open dumping yang mempercepat pemanasan global karena menghasilkan gas metana (CH4). “Rata-rata setiap satu ton sampah padat menghasilkan 50 kg gas metana. Gas ini mempunyai daya rusak 20-30 kali lebih besar daripada CO2. Gas metana berada di atmosfer dalam jangka waktu sekitar 7-10 tahun akan meningkatkan suhu sekitar 1,3° celsius per tahun,“ ungkap Sri. InsWa menginisiasi kerja sama dengan Pemprov DKI Jakarta dan Badan Perencanaan dan Penerapan Teknologi untuk menekan sampah mulai dari tempat pembuangan sementara terpadu (TPST). “Laboratorium kami sudah ada di TPST Rawasari Jakarta Pusat dan hendak diduplikasi di lima wilayah lain.“ Sejak 2010, TPST Rawasari terbukti berhasil menekan keluaran sampah ke tempat pembuangan akhir (TPA) sebesar 70%. “Sehari kami menerima sampah dari 10 rukun tetangga (RT) wilayah Rawasari sekitar 600 ton. Kami mengolahnya menjadi kompos dan residunya dibuang ke TPA.“ Kewajiban mengolah sampah juga berlaku bagi pelaku industri, yakni setiap gedung perkantoran harus memiliki tempat pengolahan sampah seperti tercantum dalam surat izin penunjukan penggunaan tanah. Peraturan itu tidak sepenuhnya ditaati oleh mayoritas pengelola gedung perkantoran. Oleh karena itu, diperlukan perda untuk menekan penumpukan sampah di TPA. “Target kami pada akhir 2013 sampah di Jakarta bisa ditekan separuhnya,“ ujar Ajang. SORAYA BUNGA LARASATI Post Date : 22 Februari 2013 |