|
JAKARTA, KOMPAS - Air permukaan sebagai sumber air baku berjumlah paling besar dibandingkan dengan mata air, air hujan, dan air tanah. Namun, kualitas air permukaan saat ini makin buruk. Hal itu dikemukakan Djoko Mulyo Hartono dalam pidato pengukuhan sebagai Guru Besar Bidang Ilmu Teknik Lingkungan Fakultas Teknik Universitas Indonesia (FTUI) di Balai Sidang UI, Depok, Rabu (13/2). Pada kesempatan yang sama, dikukuhkan Dedi Priadi sebagai Guru Besar Bidang Ilmu Teknik Metalurgi Mekanik dan Harinaldi sebagai Guru Besar Bidang Ilmu Rekayasa Termofluida di FTUI. Upacara pengukuhan dipimpin Ketua Dewan Guru Besar UI Biran Affandi. Pidato Djoko berjudul ”Perlindungan Air Permukaan sebagai Sumber Air Baku Air Minum dan Tantangannya dalam Menghadapi Perubahan Iklim”. Ia memaparkan, permukiman sepanjang daerah aliran sungai, erosi, sedimentasi, bahan kimia, penyebaran penyakit, kekurangan oksigen adalah beberapa masalah pada air permukaan. Akibatnya, terjadi penurunan kualitas air permukaan. Penurunan kualitas air permukaan ditandai dengan peningkatan kekeruhan, pembuangan dan penumpukan sampah, pendangkalan badan air, penyempitan badan saluran, serta pengelolaan air permukaan yang belum terkoordinasi dan terintegrasi. Di sisi lain, pilihan teknologi pengolahan air minum yang digunakan saat ini masih tergolong konvensional. Bangunan instalasi pengolahan air minum yang digunakan didesain dan dibangun berdasarkan kualitas air baku pada 15-40 tahun lalu. ”Teknologinya hanya mempertimbangkan parameter kekeruhan,” katanya. Djoko mengatakan, tingkat kekeruhan air saat ini melampaui batas 1.000 NTU (Nephelometric Turbidity Unit). Pada musim hujan bisa 15.000 NTU. Namun, teknologi yang ada hanya mampu mengolah air dengan tingkat kekeruhan 5-1.000 NTU. Kadar maksimum untuk tingkat kekeruhan adalah 5 NTU. Menurut Djoko, implikasi dari tingginya tingkat kekeruhan air baku adalah menambah unit bangunan pada instalasi pengolahan air untuk menurunkan kekeruhan. Bangunan tambahan harus memiliki bangunan prasedimentasi, bangunan aerasi, dan unit pengolahan lumpur. Industri logam Dedi Priadi menyampaikan pidato ”Peranan Teknologi Pembentukan Logam dan Pemanfaatan Material Baja dalam Industri Manufaktur Logam Indonesia”. Dedi mengatakan, industri logam dasar Indonesia di perdagangan internasional terus meningkat dengan persentase rata-rata nilai ekspor 60 persen. Menurut Dedi, agar industri logam dapat bertahan, perlu menggunakan pendekatan komprehensif melalui aliansi. Selain itu, pemerintah perlu mendukung dan menangani program penelitian dan pengembangan serta meningkatkan pemanfaatan bahan lokal. Sementara itu, Harinaldi memaparkan ”Teknik Kontrol Aliran pada Rekayasa Termofluida dalam Menghadapi Tantangan Global Penghematan Energi”. Menurut Harinaldi, berbagai teknologi kontrol aliran menjadi pilihan strategis di berbagai aplikasi dan peralatan teknik. Hal itu terkait dengan emisi gas dan efek rumah kaca yang diperkirakan akan meningkat sebesar 57 persen pada 2030. (K08) Post Date : 14 Februari 2013 |