|
Jakarta, Kompas - Pemberian penghargaan Adipura belum menyentuh akar masalah lingkungan di daerah. Komponen penilaian tidak meningkatkan pengawasan dan keberpihakan anggaran terkait perlindungan dan pengelolaan lingkungan yang menjadi kendala daerah. ”Ukuran penilaian yang dipakai di Adipura sebaiknya cross cutting pada semua isu lingkungan, yaitu meningkatkan performa daerah dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan. Jadi tak terbatas isu tertentu,” kata Henri Subagiyo, Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Hukum Lingkungan Indonesia (ICEL), Senin (4/3), di Jakarta. Ini menanggapi kriteria penilaian Adipura yang diperketat (Kompas, 4 Maret 2013). Di antaranya, pengelolaan tempat pembuangan akhir sampah, mempertimbangkan Gerakan Indonesia Bersih, Menuju Indonesia Hijau, serta biodiversitas. ”Tak semua daerah punya permasalahan utama sampah. Daerah di luar, misalnya Samarinda, permasalahan lingkungannya lebih ke pertambangan yang sangat masif. Apa cocok bila kriterianya masalah sampah?” kata dia. Penghargaan Adipura merupakan penghargaan bagi kota/ kabupaten yang punya komitmen mewujudkan kota bersih dan hijau. Penghargaan yang diberikan sejak tahun 1986 itu berhenti saat Sony Keraf menjadi Menteri Lingkungan Hidup, tahun 1999. ”Saya hentikan karena banyak tidak beresnya,” kata Sony dalam berbagai kesempatan. Penganugerahan digelar kembali tahun 2002 hingga sekarang. Tingkatkan perhatian Henri mengatakan, Kementerian Lingkungan Hidup seharusnya bisa memanfaatkan Adipura untuk meningkatkan perhatian daerah pada masalah lingkungan, bukan hanya pada isu kebersihan. Contoh komponen penilaian yang tak terkungkung isu, di antaranya keberadaan dan bentuk instansi lingkungan hidup daerah, jumlah/kapasitas pengawas lingkungan, alokasi anggaran, serta penyelesaian sengketa lingkungan. ”Adipura yang menilai dari sisi kebersihan juga sering kali tak bisa diterima masyarakat. Sebab, penilaian kebersihan bisa diperdebatkan,” tutur dia. Sudah jamak bila daerah menggenjot kebersihan kotanya hanya pada saat penilaian Adipura. Dihubungi terpisah di Palembang Sumsel, Kepala Departemen Jaringan dan Pengembangan Sumber Daya Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Khalisah Khalid mengatakan, penghargaan Adipura tampak menyederhanakan persoalan lingkungan daerah. Keterbatasan titik pantau/penilaian dalam suatu kota pun dinilai tidak bisa menggambarkan kondisi keseluruhan kota sehingga menimbulkan protes. Selain itu, ia juga menyoroti upaya daerah untuk mendapatkan Adipura dengan menggusur pedagang kaki lima (PKL) atau warga di pinggir sungai. Cara praktis tersebut ditempuh, bukan dengan menciptakan sistem atau mekanisme penanganan komprehensif. Masalah ketaatan pemerintah daerah dalam menaati penegakan hukum lingkungan tidak lepas disorot. ”Bagaimana dengan pemda yang menerbitkan izin di ruang terbuka hijau atau sempadan sungai untuk pembangunan mal. Konsisten tidak dengan tata ruang wilayah? Jadi, selain ada penghargaan, seharusnya penegakan hukum juga berjalan,” kata dia. Tanpa penegakan hukum yang berefek jera, berbagai jenis program lingkungan dinilai tidak akan berdampak panjang. (ICH) Post Date : 05 Maret 2013 |