Tidak Lelah Berjuang di Ruang Sunyi

Sumber:Kompas - 15 Januari 2014
Kategori:Banjir di Jakarta
GARIS depan penanganan banjir meninggalkan cerita pengorbanan. Sejumlah orang meninggalkan urusan pribadinya untuk yang lain. Kisah itu terkenang di tenda dapur umum, pos keamanan lingkungan, ataupun ruang kontrol pengendalian banjir.

Tanpa kenal lelah, mereka ligat (cekatan) memasak untuk petugas dan pengungsi, memberi informasi yang tepat terkait banjir, serta memantau pergerakan ketinggian permukaan air kali kala hujan lebat mengguyur Jakarta, pertengahan Januari ini.

Tak terkecuali Susan (40), warga Petamburan, Jakarta Pusat, yang meninggalkan tokonya membaur dengan kesibukan relawan di lokasi banjir. Sejak Senin (13/1) pagi, dia mengoordinasi ibu-ibu setempat menyediakan makanan dan minuman di dapur umum.

Bukan hanya Susan, ibu-ibu setempat melakukan hal serupa. Langkah itu sudah direncanakan sebelumnya, setelah bertahun-tahun tempat tinggal mereka menjadi langganan banjir. Kaum ibu berbagi peran dengan bapak-bapak yang mendistribusikan logistik kepada korban banjir.

”Bapak-bapak yang memastikan agar pembagian nasi bungkus tepat sasaran. Jangan sampai yang tidak berhak malah mendapat. Kemungkinan itu selalu ada,” ujar Susan saat ditemui di Petamburan.

Sampai Selasa (14/1) malam, Susan belum membuka tokonya lagi. Sampai-sampai dia lupa menyelamatkan barang dagangannya dari banjir. Barang senilai Rp 1 juta tak terselamatkan.

Pendirian dapur umum di Petamburan sudah disiapkan pihak kelurahan sebelum banjir melanda. Pada Desember 2013, lurah setempat menyusun rencana darurat penanganan banjir. Tidak hanya membangun dapur umum, pihak kelurahan juga menyiapkan jalur evakuasi, pelayanan kesehatan, menjaga saluran air berfungsi, dan membersihkan saluran air sebelum musim hujan. Rencana darurat ini memudahkan penanganan banjir seperti yang terjadi saat ini.

Memantau banjir

Di tempat berbeda, warga berbagi informasi ketinggian air Sungai Ciliwung, bersiap-siap menghadapi banjir. Minggu (12/1) siang, luapan air Ciliwung mulai masuk ke permukiman di Kampung Melayu Kecil, Kelurahan Bukit Duri, Jakarta Selatan.

Abdul Karim (71), Ketua RW 010 Kampung Melayu Kecil, berjalan cepat keluar-masuk gang. Dengan bercelana pendek sambil membawa pengeras suara berwarna merah, ia mengingatkan warga yang tinggal di bantaran Sungai Ciliwung bahwa tinggi muka air di tiga pintu air Ciliwung terus naik. ”Katulampa sudah 100 (cm), Depok 190 (cm), Manggarai 740 (cm),” ujar Karim. Ia pun menyambangi ketua-ketua RT di wilayah yang rawan banjir, yaitu RT 010, RT 011, RT 012, dan RT 015, agar siaga.

Jalan-jalan kampung di empat RT ini sudah mulai tergenang luapan air Sungai Ciliwung. Sesaat warga berhenti beraktivitas mendengarkan informasi Karim. Warga tahu persis, apa arti ketinggian muka air itu. Mereka harus bersiap. Banjir bakal segera menggenangi rumah mereka.

Karim lantas menuju pos kamling yang dijadikan posko banjir. Di situ, sudah ada beberapa warga berkumpul.

”Kami sedang bersiap menghadapi banjir,” ujar Karim.

Sebuah papan tulis di dinding luar pos itu menginformasikan ketinggian tiga pintu air Sungai Ciliwung, yaitu Katulampa, Depok, dan Manggarai. Tertulis pukul 13.30: Katulampa 110 (cm), Depok 160, Manggarai 740.

Radio komunikasi sudah selalu on, yang setiap waktu menyuplai informasi terkini ketinggian air Ciliwung. ”Kami terus memantau ketinggian di tiga pintu air itu,” katanya.

Hujan yang terus turun dari hulu berarti mewajibkan Karim bersama warga berjaga ekstra. Apalagi di RW 010 tercatat ada 4.895 jiwa. Warga, khususnya, di bantaran sungai akan menunggu aba-aba dari pengurus RT/RW, apakah sudah saatnya keluar rumah mengungsi atau belum.

Menjelang malam, luapan air Ciliwung terus meninggi. Kampung ini kembali menjadi salah satu lokasi banjir terparah di Jakarta dengan genangan sekitar 2 meter. Namun, warga telah bersiap karena terbiasa. Banjir telah mereka geluti setiap tahun.

Ruang pengendali

Bukan hanya di permukiman, kesibukan saat banjir berlangsung di ruang pengendali banjir. Basuki (40), Kepala Seksi Pengendalian Operasi Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) DKI Jakarta, belum pulang ke rumahnya sejak Sabtu hingga Selasa.

Basuki mengoordinasi informasi terkait curah hujan, ketinggian permukaan air, dan mengusulkan sikap yang akan diambil pemerintah. Sabtu malam lalu, dia tidak bisa tidur. Konsentrasinya fokus pada hujan yang terus mengguyur serta ketinggian permukaan air di sejumlah tempat pemantauan.

Menjelang dini hari hujan belum reda, dia memanggil tiga petugas BPBD yang seharusnya libur untuk masuk ke tempat kerja. Saat itu, empat sambungan telepon BPBD hampir tanpa henti berbunyi. Warga menanyakan ketinggian permukaan air di sejumlah pos pengamatan. ”Mereka ikut panik ingin memastikan seberapa parah hujan yang turun,” kata Basuki.

Pada saat itu juga, Basuki menghubungi atasannya dan meminta agar perkembangan cuaca dipantau terus-menerus. Sampai akhirnya pada hari Senin, Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo menetapkan status Siaga Darurat banjir. Pada Selasa pagi, Basuki menyempatkan pulang ke Buaran, Jakarta Timur, mengganti baju. Tidak lama setelah itu, dia harus kembali ke tempat tugas di kantor BPBD DKI Jalan Medan Merdeka Selatan. Bersama orang-orang yang tidak lelah menghimpun informasi tentang banjir Jakarta, semua itu dilakukan tanpa menyalahkan siapa yang bertanggung jawab atas bencana ini. (PRA/RWN/MKN/NDY)

Post Date : 15 Januari 2014